SURIAH (Arrahmah.com) – Pemimpin kelompok perlawanan Suriah Hai’ah Tahrir Syam (HTS), Abu Muhammad al Jaulani, mengatakan bahwa mereka tidak menimbulkan ancaman bagi keamanan Eropa dan Amerika Serikat (AS).
Pernyataan pertamanya pada pers AS ini terungkap setelah versi lengkap pertemuaannya dengan jurnalis AS Martin Smith dalam video The Jihadits dirilis Program Frontline dari saluran PBS AS (1/6/2021).
Jaulani menyatakan bahwa dia ingin dunia melihat citra realistis revolusi Suriah. Menurutnya, selama ini dunia banyak mengadopsi kebijakan yang salah dan melihat revolusi Suriah dari perspektif yang salah.
Dia menggarisbawahi bahwa keberadaan mereka adalah adanya seorang pemimpin baru dan perubahan rezim di Suriah.
Dalam wawancara tersebut, Jaulani menyatakan bahwa tuduhan teroris pada kelompoknya tidaklah adil. Label itu tidak mencerminkan kebenaran dan tidak memiliki kredibilitas. Mereka justru adalah bagian dari revolusi Suriah dan bahwa revolusi tidak dapat dibatasi pada satu orang.
Ketika ditanya Smith terkait penggunaan bom bunuh diri, Jaulani menjawab bahwa mereka menggunakan bom isytishad. Hal itu merupakan hal terhormat sebab mereka tidak memiliki pesawat tempur dan untuk melawan kelompok besar musuh.
“Jika kami memiliki pesawat tempur yang dapat kami gunakan, kami tidak akan menggunakan aktivis istisyahadi,” kata pemimpin HTS, seraya memprotes kenapa bom barel Suriah tidak ikut dikutuk, dikutip dari Aydinlik.com (3/6).
Tuduhan Smith bahwa dia memiliki hubungan dengan Al Qaeda pun dibantahnya. Baginya, hubungan dengan Al Qaeda merupakan masa lalu dan saat ini dirinya berbeda haluan dengan Al Qaeda.
Jaulani pun membantah bahwa kelompoknya telah menyiksa jurnalis dan warga sipil. Dia malah mengundang lembaga-lembaga HAM untuk memeriksa penjara-penjara milik HTS.
Abu Muhammad al Jaulani diduga kuat bernama asli Ahmed Hussein al Sharaa, kelahiran Darra tahun 1984. Keluarganya berasal dari Daratan Tinggi Golan yang diusir karena Perang 6 Hari antara “Israel” dan Negara Arab pada tahun 1967.
Selama remaja, dia pernah menjaga toko milik ayahnya di Damaskus dan disana lah dia mulai tertarik politik serta agama. Peristiwa Intifada Kedua tahun 2000 semakin menguatkan tekatnya untuk membela orang-orang tertindas.
Sekitar tahun 2005, Jaulani ditangkap oleh pasukan AS di Mosul pasca keterlibatannya dengan Al Qaeda Irak yang dipimpin Abu Mushab Zarqawi. Dia lalu lima tahun berikutnya dipenjarakan di kamp Bucca, dekat perbatasan Kuwait.
Meletusnya revolusi Arab termasuk Suriah, membuat Jaulani pergi ke Suriah atas perintah Abu Bakar Al Bagdadi pada tahun 2012 dengan nama Jabhah Nusra. Kemudian terjadi perselisihan di antara keduanya pada tahun 2014 ketika Islamic State of Iraq and Sham mengklaim berubah menjadi khilafah atau Islamic State.
Sejak itu, Jaulani memindahkan baiatnya pada pemimpin Al Qaeda Ayman Zawahari. Hingga kemudian menyatakan putus hubungan dengan Al Qaeda dan beberapa kali merubah nama kelompoknya dari Jabhat Fath Syam hingga sekarang Hai’ah Tahrir Syam. (hanoum/arrahmah.com)