XINJIANG (Arrahmah.com) – Cina menahan lebih dari 1.000 imam dan tokoh agama sebagai bagian dari tindakan keras Beijing terhadap Muslim di wilayah Xinjiang, menurut laporan investigasi.
Proyek Hak Asasi Manusia Uighur (UHRP) pada 13 Mei 2021 menerbitkan hasil penelitian yang melacak nasib 1.046 imam dan tokoh agama lainnya yang ditahan karena agama dan kepemimpinannya sejak 2014.
Hasil penelitian ini didapatkan dari dokumen pengadilan, kesaksian keluarga, media, dan laporan dari database publik serta pribadi.
“Total kasus kemungkinan hanya mewakili puncak gunung es, mengingat pembatasan yang ketat pada akses ke informasi,” menurut laporan itu, seperti dikutip dari Caravan Serai (19/5/2021).
Rezim Cina menargetkan sebagian besar ulama Uighur laki-laki yang lahir antara 1960 dan 1980. Sisanya adalah tokoh agama Islam dari etnis Kazakh serta beberapa tokoh etnis Kirgistan, Uzbek, dan Tatar.
Di antara 630 kasus yang memiliki bukti kuat, setidaknya 304 ulama telah dikirim ke penjara, bukan kamp “pendidikan ulang” seperti yang Cina beritakan.
“Alasan pemenjaraan, mengakarkan ajaran agama ‘ilegal’, shalat di luar masjid yang disetujui negara, kepemilikan materi keagamaan ‘ilegal’, komunikasi atau perjalanan ke luar negeri, separatisme atau ekstremisme, dan memimpin atau berkhutbah di pernikahan dan pemakaman, serta tuduhan lain yang hanya menargetkan afiliasi agama,” lapor UHRP.
Mereka dijatuhi hukuman 15 tahun atau lebih karena beberapa hal yaitu mengajar orang lain untuk berdoa, belajar selama enam bulan di Mesir, dan menolak menyerahkan Al Quran untuk dibakar.
Adapun yang diberikan hukuman seumur hidup adalah karena menyebarkan pokok agama Islam dan mengorganisir warga muslim dalam sebuah komunitas.
Setidaknya 18 imam dilaporkan meninggal saat dalam tahanan atau tidak lama kemudian, menurut UHRP.
Penahanan para imam dan pemuka agama ini tidak pernah dipublikasikan, tetapi apabila melihat dokumen yang ada menunjukkan bagaimana rezim Cina telah berusaha untuk menuduh keyakinan agama seseorang dengan ekstremisme atau separatisme politik, lapor BBC setelah meninjau laporan UHRP.
Misalnya, hanya 7.714 putusan pidana yang dapat diakses di pengadilan Xinjiang pada tahun 2018, padahal tercatat ada 74.348 kasus pidana pada tahun yang sama, ungkap Gene Bunin, peneliti di balik Database Korban Xinjiang.
Dalam satu kasus di mana dokumen tersedia, Oken Mahmet, seorang imam etnis Kazakh berusia 51 tahun dari Xinjiang, didakwa dengan “menyebarkan ekstremisme” pada tahun 2017.
Mahmet ditahan karena “menghasut orang untuk melanggar undang-undang nasional yang berkaitan dengan pembacaan sumpah pernikahan, pendidikan, dan pemerintahan publik, serta membuat dan menyebarkan hal-hal yang berkaitan dengan ekstremisme”, kata berita penahanan awal.
Sedangkan menurut kesaksian dari keluarga yang dikumpulkan oleh Database Korban Xinjiang, dia ditangkap karena memimpin shalat Jumat dan memimpin pesta pernikahan di masjid.
Kasus lain terjadi pada Baqythan Myrzan (58) yang ditangkap pada Agustus 2018 karena “menyebarkan ekstremisme” dan dihukum 14 tahun di Penjara Bingtuan Urumqi karena menjadi imam shalat.
Seorang ulama dan imam terkemuka dari kota Atush, Abidin Ayup (88), ditahan sejak 2017 karena dianggap mengajarkan dan berhubungan dengan ekstrimisme, menurut Maryam Muhammad, keponakan Ayup yang kini tinggal di Amerika Serikat.
Selain itu laporan UHRP pun mengungkap sejumlah bukti kuat yang membuktikan bahwa Beijing berusaha menghapus budaya dan agama Muslim serta mengasimilasi etnis minoritas ke dalam budaya mayoritas Han Cina.
Beijing telah menghancurkan atau merusak sekitar 16.000 masjid di Xinjiang, berdasarkan citra satelit dan pemodelan statistik yang dilakukan Institut Kebijakan Strategis Australia (ASPI) September lalu.
Sebagian besar kehancuran terjadi dalam tiga tahun terakhir dan diperkirakan 8.500 masjid hancur, kata laporan itu.
Diperkirakan masih ada 15.500 masjid utuh dan rusak dibiarkan berdiri di sekitar Xinjiang, namun dengan kondisi kubah dan menara yang telah dihancurkan.
Pihak berwenang juga menghancurkan hampir sepertiga dari situs Islam di Xinjiang, seperti tempat suci, kuburan, dan rute ziarah, kata ASPI.
Investigasi AFP pada 2019 menemukan puluhan kuburan telah dihancurkan di wilayah tersebut, meninggalkan sisa-sisa manusia dan batu bata dari kuburan yang berserakan.
Rezim Cina pun dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia di wilayah tersebut, seperti enahanan di luar hukum, kerja paksa, sterilisasi paksa, pemerkosaan, dan genosida.
Kebanyakan dari mereka yang ditahan di Xinjiang dikirim ke tempat yang menurut Beijing adalah fasilitas “pendidikan ulang” yang dirancang untuk membasmi ekstremisme dan untuk memberikan pelatihan kejuruan guna meningkatkan peluang kerja.
“Pelecehan yang mengerikan dan sistematis terjadi di kamp-kamp, menurut mantan tahanan, penjaga, kerabat dan saksi lainnya. (hanoum/arrahmah.com)