RIYADH (Arrahmah.com) – Usulan undang-undang antiteror Saudi memicu perdebatan, organisasi HAM terkemuka mengatakan. Mereka pun meminta Raja Abdullah bin Abdul-Aziz untuk mempertimbangkan kembali perubahan tersebut.
Di bawah RUU Pidana untuk Kejahatan Terorisme dan Pendanaan Terorisme, pemerintah bisa menahan siapapun yang dinilai layak ditangkap tanpa tuduhan atau pengadilan, Amnesti Internasional mengatakan pada hari Jumat (22/7/2011).
Perundang-undangan juga akan memberikan otoritas pada badan yang menangani terorisme untuk memenjarakan selama setidaknya 10 tahun bagi siapa saja yang mempertanyakan integritas Raja atau Putra Mahkota Sultan bin Abdul-Aziz, katanya dalam sebuah pernyataan.
Mahjoob Zweiri, seorang profesor sejarah Timur Tengah di Universitas Qatar, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa ini bukan hukum baru di Saudi Arabia.
“Hal ini dimulai sekitar lima atau enam tahun yang lalu dan ada sebuah diskusi tentang hukum pada umumnya, lebih fokus pada ancaman dari al-Qaeda,” katanya.
“Tapi sekarang ini lebih difokuskan pada peristiwa yang terjadi dan mungkin akan terjadi di Arab Saudi untuk membatasi jenis gerakan yang hendak mengkritik pemerintah.”
Amnesti Internasional , yang berbasis di London, memperingatkan hukum anti-terorisme yang diusulkan “akan membatasi protes damai”.
“RUU ini menimbulkan ancaman serius terhadap kebebasan berekspresi dengan dalih mencegah terorisme,” Philip Luther, wakil direktur Amnesty untuk Timur Tengah dan Afrika Utara.
“Kalau ini disahkan maka akan membuka jalan bagi untuk menelikung perbedaan pendapat kecil di bawah bendera antiteror dan memiliki resiko besar pelanggaran hak asasi manusia.”
Amnesti pun memperingatkan kaburnya definisi kejahatan teroris dalam draft ini sehingga memungkinkan banyaknya interpretasi dan penyalahgunaan, dan akan mengkriminalisasi perbedaan pendapat yang sah.”
“Kejahatan teroris akan mencakup tindakan seperti ‘membahayakan persatuan nasional’, ‘menghentikan hukum dasar atau sebagian dari artikel nya’, atau ‘merugikan reputasi negara atau posisinya’,” kata Amnesti.
Berdasarkan rancangan undang-undang, yang dinilai bertentangan dengan kewajiban hukum internasional negara Teluk termasuk Konvensi PBB Menentang Penyiksaan, pelanggaran apapun akan mengantarkan tersangka pada “hukuman keras”, tambahnya.
“Hukuman mati akan diterapkan pada kasus mengangkat senjata untuk melawan negara atau ‘kejahatan terorisme’ yang mengakibatkan kematian.”
Hukuman mati
Arab Saudi telah memenggal 33 orang sepanjang tahun ini, menurut kantor berita AFP, berdasarkan laporan hak asasi manusia.
Awal bulan ini, Amnesti menyeru Riyadh untuk berhenti menerapkan hukuman mati, dan mengatakan bahwa telah terjadi peningkatan signifikan dalam jumlah eksekusi di minggu sebelumnya.
Amnesti mengatakan pada Jumat (22/7) bahwa di bawah RUU, “tersangka teror” bisa dibawa ke dalam sel tahanan secara sewenang-wenang dan akan dipaksa mendekam “dalam penahanan sampai 120 hari, atau untuk waktu yang lebih lama (bahkan berpotensi tanpa batas).”
“Pada saat orang di seluruh Timur Tengah dan Afrika Utara telah menggunakan hak sah mereka untuk mengekspresikan perbedaan pendapat dan menyerukan perubahan, pihak berwenang Arab Saudi telah berusaha untuk memberangus hak ini bagi warga negaranya,” kata Luther.
“Raja Abdullah harus meninjau kembali undang-undang ini dan memastikan bahwa hak sah rakyatnya untuk kebebasan ekspresi tidak dibatasi atas nama memerangi terorisme.” (althaf/arrahmah.com)