Oleh: Mahmud Budi Setiawan
(Arrahmah.com) – Kepedulian tokoh-tokoh Islam Indonesia terhadap isu Palestina sudah tak diragukan lagi. Pasalnya, Indonesia dan Palestina memiliki hubungan yang cukup manis. Bukan saja karena faktor agama Islam, tapi juga Palestina pernah memiliki jasa besar dalam mengakui Indonesia menjadi negara merdeka. Maka tidak mengherankan jika kepedulian itu terus terawat hingga saat ini.
Di sini penulis akan memotret salah satu bentuk kepedulian para tokoh muslim Indonesia kepada saudaranya yang ada di Palestina. Pada 6 September 1977, bertempat di Gedung Kiblat Centre Jakarta, pada momentum buka puasa bersama, diselenggarakan pertemuan silaturahim antar tokoh-tokoh Islam terkait khasus yang sedang hangat di dunia Islam saat itu, yaitu: masalah ekspansi Yahudi dan Masjid Al-Aqsha.
Pada pertemuan itu, setidaknya ada 24 tokoh yang hadir, di antaranya: KH. Masykur, Prof. H. Kasman Singodimedjo, KH. Hasan Basri, M. Natsir, Prof. Dr. Hamka, KH. Abdullah Syafi’i, Drs. Lukman Harun, Dr. Anwar Harjono, Asa Bafagih, S. Soemarsono dan lain-lain. Pertemuan ini diliput dalam majalah Kiblat No. 9 Tahun XXV, September II (1977).
Acara ini diinisiasi akibat kondisi yang semakin tegang dan meresahkan di wilayah Palestina. Pasalnya, Israel semakin gencar dalam usaha untuk menempati daerah-daerah baru yang diklaim sebagai wilayah Yahudi. Mirisnya, bangsa-bangsa Arab di sekitarnya masih sibuk dengan konflik-konflik internal yang tidak kunjung selesai di tengah kondisi saudara Palestinanya yang sedang dizalimi oleh Yahudi.
Belum lagi masalah Masjid Al-Aqsha yang wilayahnya akan di-Yahudi-kan sedikit demi sedikit melalui penggalian-penggalian di sekitar masjid atas nama mencari kerajaan Dawud. Itu mereka lakukan tanpa menggubris kritik-kritik pedas dari dunia internasional. Maka, melihat kondisi demikian tokoh-tokoh umat Islam terkemuka di Indonesia tak mau tinggal diam dan berupaya mencari formula untuk menyelesaikan permasalahan terasebut.
Dalam pertemuan yang cukup hangat itu, dalam pengantarnya, M. Natsir menjelaskan bahwa umat Islam Indonesia tidak boleh tinggal diam. Selain karena masalah keyakinan, ini juga masalah hak asasi manusia. Setidaknya, minimal ada sikap yang tegas yang menunjukkan kepedulian umat Islam Indonesia kepada Palestina. Apa yang dikatakan oleh M. Natsir pun diamini oleh KH. Masykur (Ketua NU), dengan menyitir hadits bahwa umat Islam itu seperti satu tubuh, yang mana jika ada satu anggota yang sakit, maka yang lain juga turut merasakannya.
Dalam momen ini, Prof. H. Kasman Singodimedjo pun juga turut menyampaikan pandangannya. Tutur beliau, “Kesan saya ACC dengan pembicara lain. Dan kalau Yahudi menyerang kita berdasarkan “kitab suci” mereka, kita pun bisa saja mengklaim dengan Al-Qur`an . Tokh sudah cukup banyak, sinyalemen yang diberikan oleh Qur’an kepada kita, tentang perbuatan-perbuatan Yahudi yang tidak terpuji. Memang ada ide-ide untuk mengirimkan delegasi kita ke sana untuk bergerilya. Ini perlu didukung. Dan kita tidak usah takut-takut nanti disebut sebagai kaum yang ekstrim.”
Perlu dicatatat, saat itu yang menjadi pimpinan Israel adalah Menchen Begin, yang menurt istilah Asa Bafagih (yang pernah menjadi Dubes RI di negara-negara Arab) berbeda dengan pemimpin-pemimpin sebelumnya yang masih mau mengindahkan suara-suara dunia. Maka kata Asa Bafagih, diperlukan sikap yang lebih tegas lagi daripada sebelumnya terkait isu Palestina. Karena itulah, supaya lebih fokus, beliau sependapat dengan M. Natsir agar difokuskas dulu dengan masalah masjid Al-Aqsha.
Muncullah beberapa opsi kapan menyampaikan momen aspirasi. Ada yang mengusulkan saa musim haji; ada pula yang mengusulkan pada saat Presiden Soeharto berkunjung ke Timur Tengah. Kemudian, pembicaraan difokuskan pada sikap yang lebih konkret, bukan sekadar dukungan moril untuk rakyat Palestina. Di antara usul konkret itu, misalnya: menyumbang ambulans, darah, peninjauan langsung ke negara-negara Arab atau mengirimkan delegasi untuk berdialog dengan mereka sehingga tahu persis kondisi mereka di lapangan dan beberapa usul konkret lainnya.
Sebelum acara ditutup, ada usulan agar pertemuan itu melahirkan pernyataan bersama sebagai bentuk kepedulian umat Islam Indonesia yang nantinya ditujukan kepada Sekjen PBB Dr. Kurt Waldheim sebagai bahan untuk Sidang PBB yang akan dilangsungkan dalam waktu dekat. Setelah itu, salinan pernyataan akan diserahkan kepada Sekjen Konperensi Islam di Jeddah, Sekjen Mu’tamar Islam di Karachi dan World Conference on Religion and Peace di New York.
Dalam pernyataan bersama ini ada 3 poin utama yang disampaikan. Pertama, pemimpin Israel, Menachem Begin, dengan secara terbuka baik di hadapan sidang Kabinet Israel maupu kepada pers internasional, mengemukakan pendirian penguasa Israel sekarang yang menurut pendapat kami akan menghancurkan usaha-usaha penyelesaian Timur Tengah secara damai.
Kedua, kami umat Islam, selain pemukiman Yahudi yang tak sah, juga sangat prihatin atas nasib Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsha yang berada di Palestina. Sejauh ini resolusi-resolusi PBB, tidak pernah diperhatikan dan dijalankan oleh Israel. Banyaknya penggalian di sekitar masjid Aqsha menimbulkan banyak kerusakan. Ini jelas melanggar HAM dan kesepakatan di PBB.
Ketiga, agar persolana ini segera mendapat respon dari PBB. Harapan besar umat Islam Indonesia, PBB bisa mengambil tindakan-tindakan yang tepat dan adil untuk menghentikan dan menghapuskan pelanggaran-pelanggaran Israel tersebut. Inilah beberapa poin penting yang disampaikan pada momentum tersebut. Pernyataan ini ditandatangani setidaknya oleh 24 tokoh.
Dari kisah ini, semakin mengukuhkan bahwa, Indonesia dengan tokoh-tokoh Muslim dan rakyatnya, tidak pernah absen dalam mendukung Palestina. Kepedulian itu bukan saja dalam bentuk dukungan moril, tapi juga pada tataran konkret yang bisa menyelesaikan problem Palestina, melalui bantuan materil atau delegasi-delegasi yang diutus untuk mengetahui secara real kondisi di lapangan. Bahkan bila perlu, mendesak PBB untuk bertanggung jawab dalam masalah ini.
Sebagai penutup, apa yang diungkap Natsir dalam pertemuan tersebut bisa dijadikan bahan renungan. Kata beliau, bila resolusi-resolusi PBB tidak pernah mendapat perhatian Israel, setidaknya umat Islam bisa menitik beratkan ke masalah Masjidil Aqsha, “Sebab ini menyangkut keyakinan kita. Dan Pemerintah Indoneia pun dalam hal ini juga sudah jelas sikapnya.” Dan saat ini, Masjidil Aqsha telah dinistakan Israel, lalu apa peran kita sebagai bangsa Indonesia?
(*/arrahmah.com)