JAKARTA (Arrahmah.com) – Rancangan Undang-undang (RUU), Kemanan Nasional, dan RUU Intelijen apabila disahkan tanpa ada revisi terhadap beberapa ketentuan yang controversial akan menimbulkan ancaman keamanan nasional terhadap masyarakat. Demikian yang diungkapkan Juru Bicara Organisasi Masyarakat (Ormas) Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Muhammad Ismail Yusanto.
“Alih-alih menciptakan keamanan nasional, tapi malah menyebabkan ancaman nasional terhadap masyarakat,” ujar Muhammad dalam acara diskusi bertema Awas RUU Kamnas dan Intelijen, Rezim Tirani Ala Demokrasi, yang digelar di Wisma Antara, Jakarta, Minggu (17/7/2011).
Sejumlah ketentuan yang dapat menyebabkan ancaman nasional terhadap masyarakat, antara lain terkait kewenangan intelijen untuk melakukan penangkapan dan pemeriksaan 7×24 jam, dan tidak dirincikannya definisi yang jelas dari keamanan nasional dan ancaman nasional.
“Kalau itu tak jelas maka akan tergantung siapa yang melangsungkannya. Kalau hal-hal yang bersifat definitif itu tak jelas, lalu Pemerintah itu punya kewenangan seperti itu, sangat mudah kewenangan itu digunakan untuk kepentingan Pemerintah,” katanya.
Atas dasar semua HTI secara tegas, menyatakan menolak RUU Intelijen, dan RUU Kamnas.
Sementara itu, Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Kontras, Usman Hamid, menilai Badan Intelijen tak memiliki niat baik dalam Rancangan Undang-undang Intelijen. Badan intelijen kini membiaskan wewenang menyadap, dan membuka rekening seseorang, serta menangkap, dengan bahasa memeriksa orang secara intensif.
“Jadi isinya kurang lebih hampir sama, kalau dulu 7 pasal, 12 pasal, dan 23 pasal yang abstrak,” kata Usman Hamid dalam acara diskusi RUU Intelijen & RUU Keamanan Nasional, Ranjau Anti Demokrasi?, yang digelar di Rumah Perubahan Kompleks Duta Merlin, Jakarta, Selasa (12/7).
Usman Hamid menjelaskan kajian ketentuan-ketentuan tersebut pernah ada dalam RUU Intelijen yang diajukan pada tahun 2002, 2003, 2006, 2008, dan 2010. Padahal, kajian ini sempat pula ditentang.
Usman menilai berdasarkan hal tersebut pemerintah ingin menjadikan Badan Intelijen Negara (BIN) menjadi superior intelijen, dan membawahi badan intelijen lainnya, seperti di Kepolisian, Kejaksaan, TNI. Diatas itu semua, BIN nantinya akan ditempatkan dan bertangung jawab terhadap Presiden.
“Kepala BIN ditempatkan di bawah Presiden, dan itu menjadi jabatan politik, sehingga mengikuti proses pergantian kekuasaan. Bahayanya kalau ditingkat tertentu kalau Kepala BIN, ikut dalam politik praktis,” tuturnya.
Sebelumnya diberitakan, RUU Intelijen yang digagas dan dibentuk oleh Pemerintah, mendapatkan penolakan keras secara luas dari masyarakat.
Di hari Minggu, kemarin, sebanyak 72 tokoh nasional, diantaranya, Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Jimly Ashidiqqie, Fadjroel Rahman, Teten Masduki, Bambang Widodo Umar, Bambang Harimurti, menggelar jumpa pers dan menyatakan penolakan terhadap RUU Intelijen.
Mereka menilai RUU Intelijen yang dibahas oleh Pemerintah dan Parlemen saat ini mengandung banyak kelemahan dan permasalahn substansial yang dapat mengancam penegakan hukum dan HAM.
Tidak hanya itu, mereka mengidentifikasi setidaknya 30 pasal bermasalah di dalam RUU Intelijen. Sejumlah pasal bermasalah tersebut diantaranya adalah, kewenangan pemeriksaan intensif alias penangkapan oleh Badan Intelijen Negara (BIN). (tbn/arrahmah.com)