ROMA (Arrahmah.com) – Siapa tak kenal pesepakbola dunia yang kini bermain di salah satu klub besar Italia, AS Roma? Dia lah Edin Dzeko, pesepakbola Muslim asal Bosnia-Herzegovina.
Lahir di Sarajevo tanggal 17 Maret 1986, Dzeko menjadi warga negara Bosnia-Herzegovina usai perang yang memecah-belah Yugoslavia. Masa kecil Dzeko dihiasi dengan suara ledakan bom maupun rentetan tembakan yang seolah tanpa henti.
Perang meletus setelah penduduk Bosnia dan Herzegovina di Yugoslavia yang mayoritas beragama Islam menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 1 Maret 1992. Deklarasi ini didukung oleh warga Kroasia yang nantinya juga membentuk negara sendiri.
Namun, kemerdekaan Bosnia dan Herzegovina ditentang oleh sebagian besar penduduk Serbia yang berambisi menguasai seluruh bekas wilayah Yugoslavia. Peperangan pun tak dapat dielakkan, darah kembali mengaliri tanah Balkan.
Dzeko, yang sedari kecil menggemari sepak bola sering bermain bersama teman-temannya meski situasi Sarajevo kala itu sangat tidak aman, bahkan cenderung mengerikan.
“Selama masa perang, ada waktu-waktu ketika saya harus berhenti bermain bola di jalanan karena ada suara sirene. Itu artinya kami harus bersembunyi,” tulis Dzeko di laman ThePlayersTribune edisi 27 September 2018.
“Sebagai anak kecil saya tahu bahwa sedang ada perang. Tapi sejujurnya saya tidak terlalu memikirkan itu. Orang tua saya yang selalu mengurus dan melindungi kami dengan baik,” tambahnya.
Salah satu kisah menarik dari masa kecil Dzeko di masa perang adalah ketika ia sedang bermain bola di sebuah lapangan. Sedang asyik-asyiknya main, Dzeko disuruh pulang oleh ibunya saat itu juga. Meskipun kesal, Dzeko terpaksa menurut.
Beberapa menit kemudian, lapangan tempat Dzeko bermain bola itu luluh-lantak dihantam bom. Jika bukan karena naluri seorang ibu, Dzeko barangkali tidak akan menjadi salah satu striker top Eropa seperti yang saat ini.
Selain itu, Dzeko, yang memeluk agama Islam sejak lahir, juga masih mengingat saat-saat di mana dia harus menjalani ibadah di bulan suci Ramadhan di tengah kecamuk perang, desingan peluru dan dentuman bom.
“Tidak ada banyak waktu makan termasuk ketika sahur. Kami semua takut dan harus bersembunyi ketika terdengar suara tembakan dan bom,” kenang Dzeko.
“Dalam momen seperti itu, kamu bisa tertembak kapan saja. Itu adalah pengalaman yang sangat mengerikan,” lanjut Dzeko, yang juga anggota Timnas Bosnia-Herzegovina.
Pengalaman tersebut menjadi motivasi bagi Dzeko, terutama untuk terus menjaga perdamaian di antara negara-negara pecahan Yugoslavia yang terdiri dari berbagai etnis dan keyakinan.
Dzeko juga berusaha untuk menjadi seorang yang toleran, tanpa memandang latar belakang ras, etnis, agama, bangsa, atau apapun itu.
“Saya katakan kepada anak-anak bahwa tak penting apakah kamu seorang Muslim, Kristiani, atau Katolik. Yang terpenting adalah mereka harus jadi orang yang baik,” tegas Dzeko. (rafa/arrahmah.com)