JAKARTA (Arrahmah.com) – Dua orang dokter, Widyastuti Soerojo dan Muherman Harun, serta Ikatan Senat Mahasiswa Kesehatan Masyarakat Indonesia meminta Mahkamah Konstitusi menguji aturan penyertaan gambar dampak buruk kesehatan akibat merokok pada kemasan rokok. Pemohon meminta MK membatalkan kata “dapat” dalam penjelasan pasal 114 Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
“Penjelasan pasal 114 UU 36/2009 tentang Kesehatan sepanjang mengenai frase ‘dapat’ menimbulkan ketidakpastian, ketidakserasian, dan ketidakseimbangan hukum,” ujar Kuasa Hukum Pemohon, Mustakim, di Gedung MK, Jakarta, Senin (18/7/2011).
Menurut Mustakim, bunyi pasal tersebut adalah setiap orang memproduksi atau memasukkan rokok ke wilayah Indonesia wajib mencantumkan peringatan kesehatan. Namun, dalam penjelasannya pasal itu menyatakan makna peringatan kesehatan adalah tulisan yang jelas dan mudah terbaca dan dapat disertai gambar dan bentuk lainnya.
Selain itu, dalam pasal 119 ayat 1 Undang-Undang Kesehatan menegaskan setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke Indonesia tanpa mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar seperti yang disebutkan dalam pasal 114 diancam pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.
“Ketentuan antara pasal 114 dan 119 menunjukkan ada pertentangan satu dengan lainnya. Penjelasan pasal itu tidak sinkron dengan Pasal 199 ayat (1) UU Kesehatan,” ujar Mustakim.
Dalam sidang panel pemeriksaan pendahuluan itu, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi mengoreksi permohonan pemohon. “Di pokok permohonan itu anda berargumentasi bahwa frase ‘dapat’. Kalau cuma ‘dapat’ itu frase atau kata? Supaya tidak menjadi soal di kemudian hari karena ada bedanya antara frase, kata, dan kalimat,” ujar Fadlil.
Oleh karena itu, ketua hakim konstitusi M Alim memberi kesempatan bagi pemohon untuk memperbaiki permohonannya hingga 14 hari. (viva/arrahmah.com)