JAKARTA (Arrahmah.com) – Tindakan aparat kepolisian yang menjadikan satu peti Kitab Suci Al-Qur’an sebagai barang bukti terkait kasus bom Pondok Pesantren Umar Bin Khatthab (UBK) Bima, dikecam sebagai tindakan yang menghina Islam.
Seperti yang telah diberitakan sebelumnya, Mabes Polri mengumumkan hasil penggeledahan di Ponpes UBK. Kadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol Untung Yoga Ana menyebut beberapa barang bukti antara lain 9 buah bom molotov, 30 lebih anak panah, CD Jihad, 2 buah CPU, golok, kapak, printer, satu buah ponsel. Tidak hanya itu, Untung juga menyebut barang bukti berupa satu peti Al-Qur’an dari pesantren.
Indonesian Crime Analyst Forum (ICAF), menilai bahwa pengambilan satu peti Al-Qur’an sebagai barang bukti adalah tindakan yang tidak masuk akal, mengada-ada dan menghin
“Sangat tendensius sekali apabila satu peti Al-Qur’an dinyatakan sebagai barangbukti. Mengapa tendensius, karena tidak mungkin kitab suci suatu agama disertakan sebagai barangbukti, kecuali barang tersebut terkait langsung dengan kejadian,” ujar Koordinator ICAF, Mustofa B Nahrawardaya, dalam siaran pers tertulisnya, Sabtu siang (16/7/2011).
Mustofa mempertanyakan alasan Al-Qur’an dijadikan barang bukti di lokasi ledakan bom, padahal masih banyak barang-barang lain di TKP yang tidak dijadikan barangbukti.
“Jika kemudian ditemukan ada ledakan bom di sebuah pondok pesantren, bukan berarti seenaknya menyertakan kitab suci sebagai barangbukti. Masih banyak barang lain yang layak dipakai sebagai barangbukti, misalnya Meja, Kursi, tempat makan, dan lain-lain,” tambahnya.
Mustofa, yang merupakan anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah tersebut menjelaskan bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang sangat dihormati dan dijadikan sebagai pegangan hidup orang yang beragama Islam. Sehingga pengambilan Al-Qur’an sebagai barang bukti adalah tindakan gegabah yang melukai umat Islam. (voI/arrahmah.com)