JAKARTA (Arrahmah.com) – Ratusan anggota Hizbut Tahrir Indonesia berunjuk rasa di depan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, pada Jumat (15/7/2011), yang mendesak agar MK membatalkan Rancangan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. (RUU BPJS).
Mereka mengecam UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Negara. Jika UU itu dibatalkan maka tidak perlu ada pembentukan BPJS. HTI menilai penetapan UU hanya suatu obyek pemalakan karena rakyat dipaksa membayar iuran berkedok jaminan sosial.
Sebelumnya anggota Pansus BPJS Rieke Diah Pitaloka menyatakan rapat lanjutan RUU BPJS telah dibatalkan sepihak oleh pemerintah. Pembatalan dikirimkan melalui facsimile. Ia menyesali pembatalan sepihak tersebut dilakukan saat akan melanjutkan rapat Pembahasan RUU BPJS, yang berlangsung deadlock pada pembahasan Kamis (14/7) malam.
Menurut Rieke, yang juga merupakan anggota Komisi IX DPR RI dan juga politisi PDIP ini, pembatalan sepihak oleh pemerintah itu dikirimkan melalui faksimile (faks) DPR pada pukul 12.44 WIB
Sementara itu, Direktur Institute for National Strategic Inters and Development (Inside),M Daniel Nafis mengatakan perdebatan dalam pembahasan RUU Badan Peyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) antara pemerintah dan DPR dikhawatirkan deadlock.
“Saya melihat dalam pengesahan (RUU BPJS) ini ada semacam tarik menarik keras antara DPR dan pemerintah. Keduanya memegang posisi penting dan sama-sama kuat,” ujar Daniel. Di Jakarta pada Rabu (13/7).
Daniel meenambahkan, peleburan empat BPJS, yaitu PT Taspen, PT Asabri, PT Askes, dan PT Jamsostek, yang merupakan representasi dari sistem jaminan sosial yang diwacanakan akan dilebur itu memunculkan kontroversi. Termasuk penolakan dari kalangan buruh, pengusaha, dan pengamat.
Terkait hal tersebut ia berpendapat Presiden sebaiknya mengeluarkan solusi alternatif yang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perpu. Perpu itu diharapkan bisa menjadi acuan BPJS yang merupakan amanah dari UU tersebut. (lptn/arrahmah.com)