Oleh Yuliyati Sambas, S.Pt.
Pegiat Literasi Komunitas Penulis Bela Islam AMK
Kesetaraan gender (KG) beberapa dekade ini ramai menjadi perbincangan, baik skala nasional maupun internasional. Bagai mantra-mantra yang diyakini akan mampu mengeluarkan perempuan dari beragam keterpurukan yang membelitnya. Para pegiat KG berjuang siang malam dengan beragam cara untuk menyebarluaskan keyakinan mereka agar diterima dan diadopsi oleh semua warga dunia.
Dua puluh lima tahun lalu tepatnya tanggal 4-15 September 1995 negara-negara anggota PBB telah mengadakan perhelatan internasional BPfA (Beijing Platform for Action), menghasilkan 12 program memperjuangkan hak perempuan. BPfA diadakan untuk mengejawantahkan hasil konvensi Cedaw (Convention on Elimination of All Forms Discriminations Againts Women). (Syifa Nailah, 2020 melalui Times Indonesia)
Hingga kini 189 negara telah menandatangani konvensi tersebut, termasuk Indonesia. Maka meratifikasinya dalam undang-undang di Indonesia merupakan suatu kewajiban. Lahirlah UU RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. (referensi.elsam.or.id, 2004)
Para pejuang KG mengklasifikasikan terkait diskriminasi yang menimpa perempuan dan anak perempuan. Dalam video yang dibuat UN Women Asia and the Pacific, dijelaskan setidaknya ada lima jenis diskriminasi, yakni:
Diskriminasi langsung, terjadi di saat negara memberlakukan kebijakan-kebijakan yang dipandang tak memihak perempuan. Di antaranya ketika Undang-Undang Perkawinan mengarahkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki dalam keluarga. Laki-laki sebagai kepala keluarga yang berperan di ranah publik sementara perempuan adalah ibu rumah tangga yang perannya lebih banyak dalam lingkungan domestik.
Diskriminasi tidak langsung, adalah segala perlakuan yang tak dimaksudkan untuk mendiskriminasi. Namun faktanya, penghambatan, pembatasan dan penafian dirasakan sebagai dampak buruk atas perempuan dalam menikmati haknya. Kemunculannya merupakan akibat nilai patriarki yang dianut. Misal ketika anak laki-laki lebih diprioritaskan untuk mengenyam pendidikan dibanding anak perempuan terkhusus di wilayah pelosok.
Diskriminasi di waktu sekarang. Satu contoh meski di negeri ini memberlakukan UU Sisdiknas berupa wajib belajar sembilan tahun, kenyataannya anak-anak perempuan banyak yang tak mampu menyelesaikan pendidikan dasarnya.
Diskriminasi di masa lalu, dimana dampaknya masih terasa hingga kini. Semisal ketika perempuan menjadi pihak yang tak mampu mengambil keputusan di ranah keluarga, organisasi hingga lembaga negara.
Diskriminasi berlapis berupa perpaduan antara jenis-jenis diskriminasi yang dirasa kerap menimpa kaum wanita. Contohnya ketika perempuan mendapat diskriminasi dikarenakan jenis kelamin, orientasi seksual dan status sosialnya.
Dari semua diskriminasi tersebut, pejuang KG memandang bahwa akar permasalahannya disebabkan perempuan tak memiliki posisi setara dengan laki-laki. Nilai-nilai patriarki dalam rumah tangga pun senantiasa dijadikan kambing hitam atas kemalangan yang kerap menimpa wanita. Bahkan lebih jauh mereka menyasar terkait perbedaan jenis pakaian, adanya pembatasan gerak yang hanya disematkan pada wanita semisal tak boleh keluar malam, hingga akses pada kepemilikan harta, juga peran dan fungsi istri-suami dalam rumah tangga.
Itu semua mereka gugat dan terus diupayakan untuk dihilangkan. Maka sasarannya adalah apa yang mereka sebut norma-norma budaya dan aturan agama yang diskriminatif. Apalagi yang dimaksud jika bukan Islam? Ya Islam.
Pertanyaannya apakah cita-cita yang digelorakan selama beberapa dekade itu telah berhasil? Memperjuangkan hak-hak kaum wanita melalui satu frasa yang sesungguhnya utopis yakni kesetaraan gender.
Kebijakan-kebijakan berbasis gender pun mereka dorong untuk diterapkan di negeri ini. Mulai dari UU Perkawinan, kuota 30 persen bagi anggota legislatif, SKB 3 menteri terkait seragam sekolah, dan seterusnya.
Namun fakta menunjukkan hingga kini sesungguhnya banyak dari rakyat dunia terlebih negeri ini yang tak mampu mengakses hak mereka. Hak dasar pribadi berupa sandang, pangan dan papan yang memadai kian sulit didapat. Kebutuhan masyarakat seperti pendidikan, keamanan dan kesehatan menjadi komoditas dengan harga selangit hingga banyak masyarakat yang tak mampu menjangkaunya. Itu semua bukan hanya dialami oleh perempuan, tapi merata atas lelaki-perempuan.
Alih-alih akan menjauhkan perempuan dari diskriminasi sebagaimana yang selalu mereka gaungkan, justru beragam kebahayaanlah yang dituai ketika perempuan memiliki kesamaan dalam semua hal dengan laki-laki. Perempuan dengan segala keindahan tubuhnya didorong memiliki kebebasan menentukan pakaian yang dikehendakinya tanpa boleh rambu agama membatasinya. Hal ini mengakibatkan bermunculannya petaka berupa melesatnya angka pelecehan dan pemerkosaan.
Juga ketika mereka menggugat pembedaan peran dan fungsi antara wanita dan laki-laki dalam keluarga berdampak pada kasus-kasus perceraian meningkat tajam. Juga kian bertambahnya jumlah perempuan yang memilih menjadi single parent. Dimana berbuah problem lanjutan berupa bermunculannya anak-anak broken home tersebab tak mendapat pengasuhan, kehangatan dan pendidikan yang cukup dari keluarga yang utuh.
Itu semua sesungguhnya merupakan dampak diterapkannya prinsip sekuler liberal dalam sistem kapitalisme. Hak-hak dasar dari setiap individu dan masyarakat tak sanggup diberikan secara adil oleh negara. Penguasaan kekayaan bersifat bebas, siapapun mampu menguasai jenis kekayaan apapun. Gunung, hutan, lautan, pulau beserta isinya, mata air, kekayaan di perut bumi, akses jalan dan seterusnya sah dikuasai oleh pribadi tertentu. Hal ini menghasilkan ketimpangan dalam distribusi harta kekayaan. Tak heran kita akan terus dapati di negeri ini si kuat akan terus makin menguat dan melahap setiap kekayaan yang ada. Sementara si lemah akan kian terpinggir dan tak sanggup mengakses kebutuhan asasinya. Sekali lagi itu semua tak melihat jenis gendernya.
Sangatlah berbeda ketika Islam memandang terkait permasalahan yang mendera perempuan bukan tersebab status gendernya. Islam berpandangan bahwa perempuan dan laki-laki dalam perkara manusiawi adalah sama. Bagaimana Allah menyamakan posisi kemuliaan setiap insan hanya disebabkan ketakwaannya saja, bukan tersebab jenis kelaminnya (Al-Qur’an surat Al-Hujurat ayat 13).
Namun demikian Islam pun melalui seperangkat aturannya yang sempurna dan menyeluruh memosisikan perempuan dan laki-laki dalam perkara kodrati memiliki perbedaan. Maka peran, fungsi dan aktivitas yang membersamainya pun memiliki kekhasan masing-masing.
Pertama, aturan berpakaian dimana aurat wanita seluruh tubuh sementara laki-laki dari pusar hingga lutut. Di dalamnya terdapat sebentuk perlindungan utuh dan indah dari Al-Khaliq.
Kedua, besaran hak waris atas laki-laki dua kali lebih besar dari perempuan bersamaan dengan kewajiban laki-laki menafkahi perempuan yang menjadi tanggungannya.
Ketiga, adanya masa iddah hanya bagi wanita sementara laki-laki tak ada. Ini berkaitan dengan betapa Islam memuliakan urusan keturunan dan kejelasan nasab.
Keempat, adanya kebolehan dalam berpoligami namun haram untuk poliandri. Ini pun merupakan pilihan solusi berumah tangga yang berfaedah dibandingkan pintu perselingkuhan yang marak diambil oleh pasangan suami istri di alam kapitalis.
Kelima, kewajiban menafkahi bagi laki-laki bersamaan dengan hak dicukupi nafkahnya atas perempuan.
Keenam, kewajiban taat seorang istri pada suami berlekatan dengan kewajiban suami untuk baik (makruf) dalam menggauli istri.
Sementara dalam ranah bernegara, Islam mewasiatkan kepada para pemimpin (khalifah) untuk memberi pengurusan terbaik atas seluruh rakyatnya, tanpa memandang gender dan status sosialnya. Maka dalam hal ini kita melihat sejarah emas pengurusan negara yang berdasar syariat Islam (khilafah) demikian indahnya. Tak didengar bahwa terjadi diskriminasi atas salah satu jenis gender, agama, ras atau status sosial di masyarakat.
Adalah Will Durrant (sejarawan Barat) bersama istrinya, Ariel Durrant dalam bukunya, Story of Civilization mengungkapkan dengan jujur terkait kesejahteraan dan keadilan yang dipersembahkan para khalifah bagi setiap rakyatnya. Ia ungkapkan bahwa fenomena gemilang itu belum pernah tercatat dalam sejarah peradaban lainnya.
Maka sungguh perempuan dan seluruh insan lainnya hanya membutuhkan kemuliaan super yang dipersembahkan oleh syariat Islam. Bukan kesetaraan gender yang utopis dalam menghentikan kemalangan dan ketidakadilan yang senantiasa dipersembahkan oleh sistem kapitalisme.
(*/arrahmah.com)