Oleh: Dian Puspita Sari
(Arrahmah.com) – Sudah jadi rahasia umum, bahwa Indonesia adalah surganya korupsi.
Bahkan ketika pandemi Covid-19 tak kunjung usai, korupsi justru kian menggurita. Rakyat sudah jatuh tertimpa tangga. Dana bantuan sosial (bansos) yang sejatinya untuk meringankan masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19 pun tak luput dari sikatan para koruptor.
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak serius menangani korupsi. Kurnia Ramadhana menyoroti kinerja KPK dalam menangani kasus korupsi dana bantuan sosial (bansos) yang menjerat Juliari Batubara.
“Korupsi yang dilakukan Juliari dan kroninya adalah korupsi yang paling keji dan harusnya ini menggerakkan KPK untuk menindaklanjuti kasus ini. Kami melihat tidak ada keseriusan KPK. Jangan sampai ada oknum di internal KPK yang berupaya melokalisir kasus ini hanya berhenti di Juliari. Kami yakin ada pihak lain yang terlibat dalam perkara ini,” kata Kurnia. (pikiran-rakyat.com, 12/2/2021)
Selama ini, publik hanya bisa berharap pada kinerja KPK dalam memberantas korupsi. Salah satunya melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK. Pada faktanya, OTT berulang kali ini tak membuat para pelaku korupsi jera meskipun yang bersangkutan dipermalukan di hadapan publik. Urat malu mereka sudah terputus.
Lantas ada apa di balik gurita korupsi ini?
Sebab Korupsi
Salah satu teori korupsi menurut Jack Bologne Gone Theory (aclc.kpk.go.id), faktor penyebab korupsi adalah keserakahan (greed), kesempatan (opportunity), kebutuhan (needs), dan pengungkapan (ekspose).
Keserakahan berpotensi dimiliki semua orang dan berkaitan dengan pelaku korupsi. Organisasi, instansi dan masyarakat luas berpotensi membuka kesempatan untuk melakukan kecurangan (korupsi). Faktor kebutuhan juga terkait erat dengan alasan orang melakukan korupsi. Sedangkan faktor pengungkapan (ekspose) berkaitan dengan konsekuensi yang dihadapi oleh pelaku korupsi jika tindakan yang bersangkutan terungkap.
Selain keempat faktor penyebab korupsi menurut Jack Bologne Gone Theory, faktor penyebab korupsi lainnya adalah pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor) di Indonesia yang dinilai masih sangat lemah. Salah satu kendalanya berasal dari regulasi yang belum mencakup semua bentuk kejahatan rasuah.
Sebagaimana yang pernah diungkap dua tahun lalu oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif, setidaknya ada lima jenis tipikor yang ada di negara lain tapi belum diadaptasi dalam peraturan perundang-undangan secara lebih rinci di dalam negeri. Lima jenis tipikor tersebut yakni memperdagangkan pengaruh, memperkaya diri sendiri dengan tidak sah dan suap di sektor swasta. Kemudian, berhubungan dengan asset recovery, walaupun UU (undang-undang) di parlemen sudah lama, tapi sampai saat ini juga belum ada. Satu lagi yang berhubungan dengan menyuap publik asing. (Inews.id, 19/03/2019)
Kondisi pemberantasan tipikor yang lemah ini semakin parah, ketika lembaga “antirasuah” (anti suap) KPK juga terancam dikebiri dan tak bergigi lagi, setelah Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hasil revisi atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 disahkan oleh DPR bersama pemerintah pada bulan September 2019 lalu.
Melihat fenomena memprihatinkan ini, wajar jika timbul pertanyaan besar, “Mungkinkah korupsi mampu diberantas hingga ke akar-akarnya?”
Kasus korupsi di tengah pandemi saat ini membuktikan bahwa tindak pidana korupsi di era sekuler kapitalistik semakin kronis dan keji. Jika dari sisi undang-undang Tipikornya saja mudah dikompromikan oleh sang pembuat aturan sesuai syahwat mereka hingga mampu melemahkan “kesaktian” KPK, maka penyelesaiannya tak cukup sekadar mengandalkan penguatan lembaga KPK. Lebih dari itu, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara fundamental dan sistemik, baik preventif maupun kuratif.
Berharap pada sistem sekuler kapitalistik untuk memberantas korupsi bagai mimpi di siang bolong. Alih-alih memberantasnya, sistem saat ini malah menyuburkan korupsi. Satu-satunya solusi untuk memutus gurita korupsi ini adalah dengan menghentikan praktik sistem hidup sekuler kapitalistik. Lalu, beralih pada sistem kehidupan yang dijamin Allah Swt yang mampu mewujudkan penegakkan hukum dengan tegas terhadap tindak pidana apapun, termasuk korupsi. Yaitu sistem Islam.
Islam Berantas Korupsi
Beribu abad yang lalu, Allah Swt. sudah menurunkan seperangkat aturan hidup yang sempurna bagi umat manusia. Oleh sebab itu, sebagai muslim, kita tidak layak mempertanyakan keampuhan syariat Islam dalam menyelesaikan seluruh problematika kehidupan. Kita juga tidak layak mengambil sebagian syariat-Nya lalu mencampakkan sebagian lainnya.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوا ادۡخُلُوۡا فِى السِّلۡمِ کَآفَّةً ۖ وَلَا تَتَّبِعُوۡا خُطُوٰتِ الشَّيۡطٰنِؕ اِنَّهٗ لَـکُمۡ عَدُوٌّ مُّبِيۡنٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Terkait masalah korupsi, Islam sendiri secara tegas melarang korupsi. Nabi Muhammad saw. sudah mengantisipasi umatnya untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan yang bisa melahirkan korupsi.
Saat Rasulullah saw. mengutus sahabatnya, Mu’adz bin Jabal ke Yaman sebagai juru dakwah, beliau berpesan agar tidak melakukan korupsi terhadap apapun selama bertugas menjadi pendakwah dan pejabat di Yaman.
Dari Mu’adz bin Jabal, ia berkata: “Rasul saw. mengutus saya ke Yaman. Ketika saya baru berangkat, beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil saya kembali. Maka saya pun kembali. Beliau saw. bersabda, “Apakah engkau tahu aku mengirimimu orang untuk kembali? Janganlah kamu mengambil sesuatu tanpa izin saya, karena hal itu adalah ghulul. Dan barangsiapa berlaku ghulul, maka ia akan membawa barang yang digelapkan atau dikorupsi itu pada hari kiamat. Untuk itulah aku memanggilmu. Sekarang berangkatlah untuk tugasmu”.
Larangan korupsi juga ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra ketika ia mengawasi harta yang diperoleh oleh bawahannya secara ketat. Begitu hati-hatinya, Umar beberapa kali membuat kebijakan mengganti jabatan atau menyita harta bawahannya hanya karena khawatir saat harta mereka bertambah. Apalagi, jika diketahui hartanya diperoleh di luar gaji yang diberikan oleh negara.
Khalifah Umar pernah mengganti bawahannya, yaitu Abu Hurairah (ra) saat Abu Hurairah menjabat sebagai gubernur di Bahrain. Ia diketahui memiliki banyak harta setelah menjabat. Umar memanggil Abu Hurairah dan menghitung hartanya. Setelah dihitung, Umar menyita sebagian hartanya. Abu Hurairah menegaskan kepada Umar bahwa hartanya yang bertambah bukan karena hasil korupsi. “Saya mengamanahkanmu menjabat di Bahrain. Waktu itu engkau hanya mengenakan sepasang sandal jepit. Setelah menjabat saya mendapat laporan engkau sudah bisa membeli kuda-kuda sebesar 1.600 dinar,” kata Umar.
“Wahai Amirul Mukminin (Umar), sebelumnya kami memiliki kuda. Kemudian kami jadikan usaha, kami kembang biakkan. Selain itu, ada juga dari hasil pemberian orang,” kata Abu Hurairah.
“Saya sudah memberi hak, gaji dan penghasilanmu. Semestinya itu sudah lebih dari cukup,” kata Umar.
“Tapi itu bukan hakmu!” kata Abu Hurairah.
“Benar. Demi Allah, saya akan memukul punggungmu!” kata Umar.
Kemudian Umar berdiri dan memukul Abu Hurairah dengan cambuk sampai berdarah.
“Terimalah ini!” kata Umar.
“Saya merelakannya karena Allah!” jawab Abu Hurairah.
“Semestinya harta dan kekayaanmu dihasilkan dari usaha yang tepat dan untuk berbuat taat.
Engkau datang jauh-jauh dari Bahrain tidak karena Allah, tidak pula karena kaum muslimin. Saya tidak hanya menyuruhmu pulang untuk kembali kepada ibumu, tetapi juga rakyat Al Humur!” kata Umar.
Walaupun sebagian harta Abu Hurairah yang disita Umar bukan hasil korupsi, Khalifah Umar hendak menunjukkan sistem pembuktian terbalik bahwa Umar selalu mengawasi harta yang diperoleh oleh pejabat-pejabatnya.
Rasulullah saw. juga bersabda,
يَا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ إِنَّهُ لاَ يَرْبُو لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ إِلاَّ كَانَتِ النَّارُ أَوْلَى بِهِ
“Wahai Ka’ab bin ‘Ujroh, sesungguhnya daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram akan berhak dibakar dalam api neraka.” (HR. Tirmidzi, no.
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
“Laknat Allâh kepada pemberi suap dan penerima suap.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah)
Demikian Islam memberantas korupsi, baik secara preventif maupun kuratif.
- Secara preventif, faktor iman kepada Allah Swt. sangat ditanamkan oleh negara pada para aparat dan penjabatnya. Negara juga memberikan gaji kepada semua bawahannya secara layak. Hal ini dilakukan untuk menutup segala kemungkinan adanya korupsi.
-
Secara kuratif, jika terjadi korupsi, maka hukum qishash berhak diberlakukan negara atas koruptor, yaitu mencuri hak orang lain. Sanksinya dikembalikan kepada Al-Qur’an dan As-sunah.
Dari kisah keteladanan Nabi Muhammad saw dan Khalifah Umar ra di atas, pemberantasan korupsi ini mustahil dilakukan oleh negara berasaskan sekularisme dan hanya mampu dilakukan oleh negara yang berasaskan Islam. Negara ini berwujud khilafah atas manhaj kenabian.
Wallahu ‘alam bishsawab.
(*/arrahmah.com)