YOGYAKARTA (Arrahmah.com) – Majelis Mujahidin mendesak agar Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Nadiem Makarim), Menteri Agama (Yaqut Cholil Qoumas), serta Menteri Dalam Negeri (Tito Karnavian), yang disahkan Rabu 3 Februari 2021 lalu, dicabut.
Sebab menurut Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, SKB 3 Menteri tersebut melanggar konstitusi RI, khususnya UUD 1945 pasal 29 ayat 1 yang berbunyi, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan ayat (2) yang berbunyi, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Selain itu, Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, Ustadz Irfan S. Awwas, melalui keterangan resminya yang dirilis pada Senin (8/2/2021), juga menyampaikan bahwa SKB 3 Menteri tersebut mendiskreditkan ajaran Islam yang telah Allah tetapkan dalam Al Qur’an.
“Menutup aurat bagi setiap muslimah adalah kewajiban, keyakinan dan kepercayaan agama. Dilaksanakan tanpa paksaan, melainkan hasil dari pembinaan dan pendidikan, demi melindungi kehormatan peserta didik beragama Islam,” tulis Ustadz Irfan, yang kemudian mengutip Al Qur’an surat Al Ahzab ayat 59.
“Wahai Nabi, perintahkanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri kaum mukmin untuk mengenakan jilbab menutup bagian atas badan mereka dengan kain kerudung besar. Mengenakan jilbab itu membuat mereka lebih mudah dikenal sebagai perempuan shalihah dan tidak diganggu oleh laki-laki nakal. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepada semua makhluk-Nya.” (QS Al-Ahzab : 59).
Lebih lanjut, Majelis Mujahidin juga mengungkapkan bahwa SKB 3 Menteri juga bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 ayat 2 tentang sistem pendidikan nasional, yang berbunyi, “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.”
Serta bertentangan dengan Undang-Undang No. 20, Tahun 2003 Pasal 3 yag berbunyi, “Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam keterangan resminya tersebut, Ustadz Irfan juga menyebutkan kasus seorang siswi yang dipaksa melepas jilbabnya oleh pihak sekolah dengan dalih melaksanakan SKB tersebut.
“Belum sebulan SKB ini diberlakukan, sudah menelan korban di sejumlah sekolah di Indonesia. Seorang siswi SMAN I Maumere, Nusa Tenggara Timur, dipaksa melepas jilbabnya sebagai pelaksanaan SKB tersebut oleh pihak sekolah,” ungkap Ustadz Irfan.
Dia juga menjelaskan bahwa aturan yang tertuang dalam SKB 3 Menteri tersebut bersifat diskriminatif dan Islamofobia, serta mendukung sekularisme.
“Apabila kasus di satu daerah dijadikan alasan melarang penggunaan jilbab di sekolah negeri, lalu aturan tersebut berlaku secara nasional, maka pelarangan tersebut bersifat diskriminatif dan sentimen keagamaan berbasis Islamofobia,” kata Ustadz Irfan.
“Jika berpakaian dengan atribut agama tertentu dilarang, berarti pemerintah menganjurkan pakaian dengan atribut non agama bagi siswi sekolah? Dan pakaian yang membuka aurat adalah pakaian beratribut non agama berbasis sekularisme,” pungkasnya. (rafa/arrahmah.com)