(Arrahmah.com) – Tidak terasa sudah setahun lebih wabah pandemic dalam kehidupan kita. Kasus kematian dan positif covid-19 juga masih ada, bahkan cenderung meningkat setelah pilkada serentak Desember 2020 yang lalu. Gejolak ekonomi pun berimbas, tetapi di tengah situasi yang masih belum pulih.
Seperti dilansir dari Detiknews (17/1/2021), secara mengejutkan Presiden menandatangani Perpres yang tertuang dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) pada tanggal 6 Januari 2021.
Aturan ini diterbitkan untuk memberikan perlindungan hak atas rasa aman warga negara dari ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme.
Untuk menindaklanjuti Perpres RAN PE ini, maka dalam lampiran juga tertuang program-program yang harus dilakukan, salah satunya adalah terkait program yang bertujuan meningkatkan efektivitas pemolisian masyarakat dalam upaya pencegahan kekerasan yang mengarah pada terorisme. (DetikNews 6/1/2021).
Sejumlah pengamat menilai bahwa perpres ini rentan memicu aksi kekerasan baru.
Khairul Fahmi, pengamat keamanan dari Institute For Security and Strategic Studies (ISESS) mengkritik perpres tersebut karena seolah ingin mendorong dan memberikan kesempatan kepada individu untuk bisa melakukan pemolisian ke sesama warga, jika rambu-rambunya tidak disiapkan dan disosialisasikan dengan baik maka potensi konflik horizontal dan pelanggaran HAM akan meningkat. (Tirto.id 21/1/2021).
Kemudian pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI) Ridwan Habib menilai, tidak jelasnya definisi maupun kriteria ekstrimisme yang ada dalam aturan tersebut berpotensi menimbulkan aksi persekusi. (Mediaindonesia.com 21/1/2021)
Jika dilihat dari moment keluarnya Perpres ini yaitu ditengah pandemic covid-19 pastilah ini sesuatu yang penting dan sangat mendesak untuk segera ditangani, ibarat sebuah kegentingan yang dapat mengganggu stabilitas negara dan kegundahan penguasa.
Apalagi melihat kepada program-program yang bertujuan untuk meningkatkan pemolisian masyarakat, jelas bahwa program ini menyasar kepada masyarakat sipil, artinya ada sebagian masyarakat yang akan dilatih atau dijadikan mitra polisi dalam memberantas ekstrimisme di tengah masyarakat.
Nantinya masyarakat akan dilatih untuk memolisikan orang yang diduga terlibat dalam ekstremisme. Dan bukan hanya di masyarakat tapi juga di sekolah dan kampus. Untuk itu pemerintahpun sudah menyiapkan penambahan materi pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di sekolah dan di kampus.
Pembahasan tentang ekstrimisme, terorisme dan intoleran bukanlah bahasan baru, bahkan semakin lama semakin liar bak bola salju yang selama ini memang ditujukan kepada umat Islam, semua ini tak lepas dari peran barat terutama Amerika Serikat dalam mengajak negara-negara lain untuk bersama perang melawan terorisme dan juga memoderasikan dunia Islam yang masuk melalui kurikulum pendidikan yang di ajarkan di sekolah.
Hingga makna syariah pada sejumlah kata dalam bahasa Arab mengalami pegeseran makna, sebut saja kafir, jihad, khilafah dan lainnya, itu semua di anggap sebagai kata yang mengundang kebencian, intoleransi
Maka bisa dilihat, ketika ada sekelompok masyarakat yang menyeru untuk untuk berislam secara kaffah, pastilah akan di cap radikal. Padahal mereka ini sedang mensyiarkan apa yang ada dalam Alqur’an dan Assunah. Mengingatkan umat untuk tidak memilih pemimpin kafir maka akan di cap intoleran, mengajarkan anak perempuan sejak kanak-kanak untuk menutup aurat dengan sempurna, menjaga batas pergaulan laki-laki perempuan di cap radikal. Mengingatkan penguasa untuk berhukum pada hukum Allah, termasuk mengatur bagaimana pengelolaan sumber daya alam yang benar dengan syariat. Hingga menjelaskan bagaimana bobroknya ekonomi kapitalis yang berpijak pada riba, yang semakin nyata terlihat kerusakannya.
Dan bisa dibayangkan jika Perpres RAN PE ini diberlakukan, akan ada sekelompak masyarakat sebagai mitra polisi yang dengan mudahnya untuk memata-matai dan memolisikan masyarakat yang menurut mereka berpaham radikal atau tidak sama dengan mereka. Akan ada saling curiga dan ketidak percayaan antar anggota masyarakat, dan hal ini berpotensi menjadi jalan adu domba untuk terciptanya konflik horizontal. Akan ada tindakan persekusi terhadap mereka yang kritis.
Belum ada perpres ini saja, sudah terjadi banyak kasus persekusi yang menimpa mereka para Ulama yang dakwahnya tidak sejalan dengan kepentingan penguasa, yang dilakukan oleh ormas yang terstruktur dari pusat hingga ke desa.
Maka sudah selayaknya saat ini kaum muslim menyadari dengan sepenuhnya, bahwa masalah nyata bangsa ini bukanlah radikalisme, ekstrimisme atau terorisme, tapi permasalahan bangsa ini adalah ketimpangan sosial , permasalahan kesenjangan ekonomi yaitu menumpuknya harta kekayaan hanya pada segelintir orang , bencana alam yang berturut-turur terjadi, banjir, longsor, tindak kriminal yang terus meningkat.
Semua permasalahan yang tak kunjung terselesaikan, apalagi dengan adanya wabah pandemi covid 19 ini, aktifitas ekonomi menjadi tersendat. Kebijakan yang ada hanyalah tambal sulam saja.
Sudah saatnya kaum muslim belajar kembali bahwa apa yang di yakininya adalah sesuatu yang datang dari Zat Yang Maha Kuasa. Diturunkan agama Islam sebagai agama yamg di ridhoi Allah. Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, segala pengaturan hidup dan bagaimana manusia memenuhinya sudah dijelaskan secara rinci dan jelas. Bahwa kedaulatan itu di tangan Allah, loyalitas penguasa atau pemimpin itu kepada Allah dan rakyat yang dipimpinnya. Maka setiap kebijakan yang dikeluarkan memang untuk kepentingan rakyatnya untuk memberikan rasa aman dan ketenangan, dan bukan untuk kepentingan kelompok atau golongan tertentu.
Menyampaikan yang haq adalah sebuah kewajiban, berbuat yang haq adalah kewajiban juga. Karena itu semua adalah perintah Allah.
Memata-matai sesama muslim adalah sebuah tindakan yang berdosa, ditambah memata-matai kepada mereka yang berdakwah dalam mensyiarkan Islam. Inilah saatnya kita kembali fitrah , kembali hidup dengan aturan Allah secara kaffah yang penuh kebarokahan dan keridhoan untuk menggapai Islam yang Rahmatan lil’alamin.
Penulis : Irma Ismail (Aktivis Muslimah Balikpapan dan member AMK)
(ameera/arrahmah.com)