JAKARTA (Arrahmah.com) – Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) 6 (enam) warga sipil (Laskar FPI) menyatakan akan melakukan advokasi hukum dan HAM berkelanjutan agar kasus pembunuhan atas 6 (enam) warga sipil (Laskar FPI) terungkap jelas dan pelakunya diadili sesuai hukum yang berlaku.
Dalam pernyataan pers, Kamis (21/1/2021), TP3 mengatakan akan melakukan langkah-langkah advokasi setelah mengamati secara cermat sikap, kebijakan dan penanganan kasus oleh Pemerintah dan Komnas HAM, yang dinilai jauh dari harapan dan justru cenderung berlawanan dengan kondisi objektif dan fakta-fakta di lapangan.
Diketahui, pada 7 Desember 2020, Kapolda Metro Jaya Fadil Imran mengatakan 6 (enam) orang laskar FPI tewas dalam baku tembak, karena mereka melakukan penyerangan terhadap jajaran Polri yang sedang menjalankan tugas penyelidikan kasus Habib Rizieq Shihab (HRS).
Belakangan pada 14 Desember 2020 Polri menyatakan 2 (dua) laskar FPI tewas dalam baku tembak dan 4 (empat) lainnya ditembak karena berupaya merebut pistol petugas di dalam mobil.
“Polisi terpaksa melakukan tindakan tegas dan terukur,” kata Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal Andi Rian.
Dari kompilasi infomasi yang dilakukan, TP3 menemukan fakta bahwa laskar FPI tidak memiliki senjata, tidak pernah melakukan penyerangan dan dengan demikian tidak mungkin terjadi baku tembak.
TP3 meyakini yang terjadi adalah pembunuhan dan pembantaian yang patut diduga telah direncanakan sebelumnya.
Sebaliknya, TP3 menilai, apa pun alasannya, tindakan aparat polisi tersebut sudah melampaui batas dan di luar kewenangan menggunakan cara-cara kekerasan di luar prosedur hukum dan keadilan alias extrajudicial killing.
“Tindakan brutal aparat polisi ini merupakan bentuk penghinaan terhadap proses hukum dan pengingkaran atas azas praduga tidak bersalah dalam pencarian keadilan, sehingga bertentangan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan peraturan yang berlaku,” tandasnya.
Karena itu, lanjutnya, TP3 mengutuk dan mengecam keras para pelaku pembunuhan, termasuk atasan dan pihak-pihak terkait.
TP3 juga menuntut pelakunya diproses hukum secara adil dan transparan. Sebagai pemimpin pemerintahan, TP3 meminta pertanggungjawaban Presiden Jokowi atas tindakan sewenang-wenang dalam kasus pembunuhan tersebut.
Sementara itu, dalam konferensi pers 8 Januari 2021, Komnas HAM menyatakan 2 (dua) mobil laskar FPI menghalang-halangi tugas polisi mengintai HRS, sehingga terjadi bentrok yang menyebabkan 2 (dua) laskar tewas.
Penembakan 4 (empat) laskar FPI lainnya dinyatakan sebagai unlawfull killing. Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan 4 (empat) orang tersebut meninggal saat berada dalam penguasaan kepolisian.
“Maka peristiwa tersebut adalah pelanggaran HAM, karena tidak ada upaya lain untuk menghindari jatuhnya korban,” kata Anam.
TP3 menyatakan bahwa pembunuhan 6 (enam) laskar FPI oleh aparat negara tidak sekadar pembunuhan biasa dan dikategorikan sebagai pelanggaran HAM biasa, sebagaimana yang dinyatakan oleh Komnas HAM.
“Kami dari TP3 dengan ini menyatakan bahwa tindakan aparat negara yang diduga melakukan pengintaian, penggalangan opini, penyerangan sistemik, penganiayaan, dan penghilangan paksa sebagian barang bukti merupakan kejahatan kemanusiaan, sehingga dikategorikan sebagai Pelanggaran HAM Berat dalam bentuk Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crime Against Humanity),” lanjutnya.
TP3 menegaskan, pembunuhan 6 (enam) laskar FPI merupakan pelanggaran terhadap Statuta Roma dan Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment yang telah diratifikasi melalui Undang Undang No.5 Tahun 1998. Karena itu proses hukumnya harus dilakukan melalui Pengadilan HAM sesuai Undang-Undang No.26 Tahun 2000.
TP3 menilai penyerangan sistematis terhadap warga sipil 6 (enam) Laskar FPI merupakan tindakan tidak manusiawi yang dengan sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka berat pada tubuh atau untuk kesehatan mental atau fisik.
Pernyataan tersebut juga menyebutkan, sampai saat ini pemerintah belum memberikan pertanggungjawaban publik atas peristiwa pembunuhan 6 (enam) Laskar FPI dan tidak menyampaikan permintaan maaf atau belasungkawa kepada keluarga mereka.
“Bagi kami, ini adalah satu pengingkaran terhadap hak-hak korban dan keluarganya yang semestinya dijamin oleh negara seperti terkandung dalam UU No.13 Tahun 2006 jo UU No.31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban,” jelasnya.
Anggota Tim TP3, antara lain: Prof. Dr. Muhammad Amien Rais, KH. Dr. Abdullah Hehamahua, Dr. Busyro Muqoddas, KH. Dr. Muhyidin Djunaedi, Dr. Marwan Batubara, Prof. Dr. Firdaus Syam, Dr. Abdul Chair Ramadhan, Habib Muhsin Al-Attas, Lc., Hj. Neno Warisman, Edy Mulyadi, Rizal Fadillah, SH, MH, HM Mursalim R, Dr. Bukhori Muslim, Dr. Syamsul Balda, Dr. Taufik Hidayat, Dr. HM Gamari Sutrisno, MPS, Ir. Candra Kurnia, Adi Prayitno, SH, 19. Dll.
(ameera/arrahmah.com)