Oleh: Ammylia Rostikasari, S.S.
(Komunitas Penulis Bela Islam)
(Arrahmah.com) – Turut berduka cita sedalam-dalamnya. Angka kematian tenaga medis dan kesehatan di Indonesia tercatat paling tinggi di Asia.
Selain itu, Indonesia juga masuk ke dalam lima besar kematian tenaga medis dan kesehatan di seluruh dunia. Hal tersebut disampaikan lewat pernyataan Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi.
Sejak Maret hingga akhir Desember 2020 terdapat total 504 petugas medis dan kesehatan yang wafat akibat terinfeksi Covid-19,” ujar Adib dikutip dari siaran pers PB IDI, Sabtu (2/1/2021).
“Jumlah itu terdiri dari 237 dokter dan 15 dokter gigi, 171 perawat, 64 bidan, 7 apoteker, 10 tenaga laboratorium medis,” tuturnya (kompas.com/2/1/2020).
Memprihatinkan. data tersebut menunjukkan bahwa penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia belum maksimal atau bahkan dapat disimpulkan sangat buruk. Berlebih lagi, positivity rate atau tingkat penularan di Indonesia konsisten 14-15 persen selama beberapa bulan. Padahal standar WHO itu maksimal 5 persen.
Keadaan buruk tersebut terjadi karena pemerintah belum berkemampuan mencapai standar 3T, yaitu testing, tracing, treatment. Mengingat kapasitas testing di Indonesia, belum pernah stabil dan hampir selalu di bawah standar WHO.
Jika merujuk jumlah penduduk Indonesia jatuh pada angka 267 juta jiwa, maka jumlah penduduk minimal yang harus dites sebanyak 38.500 orang. Ini berlaku sampai 9 bulan gagal tembus, angka itu secara konsisten. Idealnya ada pada angka minimal 80 ribu.
Praktik tracing atau pelacakan yang buruk, diperparah dengan rasio pelacakan kontak positif Covid-19 di Indonesia hanya 1 berbanding 3 orang. Padahal, skala idealnya adalah 1 orang positif Covid-19, maka yang dilacak harusnya 30 orang (tempo/3/12/20).
Pelacakan yang buruk menjadi pemicu melesatnya angka harian Covid-19 bahkan sempat mencapai 6 ribu kasus. Karena strategi penanganannya tidak maksimal, sehingga efeknya yang kasihan adalah para pejuang, yang tak lain adalah tenaga kesehatan (nakes) di rumah sakit.
Mereka berjibaku untuk menangani pasien yang terinfeksi Covid 19 dengan segala beban yang belum berimbang dengan kebijakan yang timpang. APD yang belum memadai, ditambah lagi dengan inkonsistensi PSBB, bahkan tafsir kerumunan pun seolah hanya ada dalam kamus penguasa. Sekolah dan tempat ibadah dihimbau untuk dinonaktifkan sementara tempat hiburan bahkan Pilkada tetap diselenggarakan.
Kondisi juga dibuat semakin berat karena tidak ada penanganan serius dari pihak yang berwenang untuk mengintervensi tingkat kematian para tenaga kesehatan. Semisal, adanya perwakilan dinas kesehatan yang mengawasi agar tingkat kematian nakes di RS bisa turun. Seolah dibuat abai, hingga tak sadar peringkatnya menduduki tertinggi di Asia.
Yang lebih tragis, setelah para nakes meninggal dunia karena baktinya memberikan perawatan pada pasien yang terpapar Corona, sama sekali tidak ada pemberian gelar pahlawan yang benar, sekadar tanda jasa, atau fasilitas pada keluarga yang ditinggalkan layaknya penghargaan yang diterima tentara saat perang. Seolah pengorbanan nyawa dianggap biasa saja, tak ada harganya.
Beginilah potret penguasa di negeri kita. Abai dan fakir empati.
Asas kepentingan telah merasuki jiwa-jiwa pemangku kuasa. Di dalam pikirannya hanya ada unsur bisnis belaka, sampai mengorbankan banyak jiwa tenaga kesehatan. Di sisi lain ingin menangani wabah, tapi kebijakannya tumpang tindih, terkesan lemah.
Hal demikian berbanding terbalik dengan perspektif Islam. Adanya bencana berupa wabah ini merupakan bagian dari qadha’ (ketetapan Allah SWT) yang tak bisa ditolak.
Namun, sistem dan metode apa yang digunakan untuk mengatasi dan mengendalikan wabah adalah pilihan; ada dalam wilayah ikhtiari manusia. Hanya sistem sahih yang datang dari Allah Subhanahu wata’ala saja, parahnya wabah ini akan segera diatasi. Darurat diterapkannya syariat, tidak bisa tidak.
Penerapan syariat Islam selain menjaga agama dan harta manusia, juga bertujuan untuk memelihara nyawa manusia. Dalam Islam, nyawa seseorang—apalagi nyawa banyak orang—benar-benar dimuliakan dan dijunjung tinggi. Menghilangkan satu nyawa manusia disamakan dengan membunuh seluruh manusia (Lihat: QS al-Maidah [5]: 32).
Nabi saw. juga bersabda,
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
“Sungguh lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim.” (HR an-Nasai, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).
Perlindungan dan pemeliharaan syariah Islam atas nyawa manusia diwujudkan melalui berbagai hukum. Di antaranya melalui pengharaman segala hal yang membahayakan dan mengancam jiwa manusia. Nabi saw. bersabda,
لاَ ضَرَرَ وَ لاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh (haram) membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR Ibn Majah dan Ahmad).
مَنْ عَلِمَ أَنَّ كُلَّ نَائِبَةٍ إلَى انْقِضَاءٍ حَسُنَ عَزَاؤُهُ عِنْدَ نُزُولِ الْبَلَاءِ
“Siapa saja yang menyadari bahwa setiap bencana (musibah) pasti akan berakhir, ia akan benar-benar sabar saat bencana itu turun.” (Imam al-Mawardi, Adab ad-Dunya’ wa ad-Din, 1/370).
Penguasa akan maksimal menjalankan amanahnya sebagai mas’ul yaitu penanggung jawab umat. Juga sebagai jannah, yaitu perisai umatnya. Kebijakan yang ditetapkan akan sinergis dengan penanganan di lapangan.
Begitupun dalam penyelenggaraan kesehatan. Jaminan dan pelayanan kesehatan publik tidak hanya diberikan bagi kaum Muslimin saja, tapi juga bagi non-Muslim. Tanpa membedakan warna kulit, bangsa, etnis, suku dan rasnya. Pelayanan ini pun semakin meningkat kala terjadi wabah seperti saat ini.
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam sistem Islam meliputi upaya pencegahan dan penanggulangan . Tinta emas dalam sejarah telah mengabadikan bagaimana Islam mengatasi krisis saat wabah. Dalam upaya pencegahan, tidak hanya menerapkan lockdown wilayah sebagai Rasulullah Saw. contohkan. Khalifah Umar ra. Tapi juga cekatan terjun ke lapangan untuk menyalurkan bantuan pangan bagi rakyatnya. Hingga masa paceklik kala itu sukses diatasi.
Sementara itu dalam aspek penanggulangan, Nabi Muhammad Saw. telah memberikan sebaik-baik teladan. Nabi Saw. membiasakan umatnya untuk hidup bersih dan sehat. Kesadaran untuk hidup sehat ini dalam rangka pencegahan diri dari berbagai penyakit. Pola hidup sehat ini pun didukung oleh negara dalam segala aspek, termasuk pangan yang layak tentunya halal thoyyib, kediaman yang resik, dan fasilitas kesehatan yang dimudahkan.
Semua dikondisikan oleh penguasa dengan baik. Mengingat semuanya merupakan pelaksanaan amanah dari Allah Subhanahu wata’ala.
Jelas tegas solusi ideal hanya terdapat dalam Islam dan kepemimpinannya. Insyaallaah setiap masalah, termasuk musibah wabah akan bisa diatasi dengan hakiki karena keberkahan memenuhi seruan Ilahi. Wallahu’alam bis showab.
(ameera/arrahmah.com)