Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Direktur HRS Center
(Arrahmah.com) – Proses penyidikan oleh Bareskrim dan penyelidikan oleh Komnas HAM perlu dicermati dengan serius, mengingat terbuka peluang adanya konflik kepentingan. Konflik kepentingan dimaksud menunjuk terjadinya dualisme penanganan perkara.
Bareskrim melakukan penyidikan terhadap laskar FPI tentang dugaan tindak pidana penyerangan secara bersama-sama (penyertaan) dengan menggunakan senjata tajam dan senjata api. Disisi lain, Komnas HAM melakukan penyelidikan dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat (extra judicial killing) oleh anggota Polda Metro Jaya.
Disini, walaupun kedua perkara tersebut berbeda jenis tindak pidana dan pelakunya, namun terdapat persentuhan erat dan hubungan kausalitas antar keduanya. Dualisme penanganan perkara tersebut dapat berimplikasi pembiasan dugaan terjadinya extra judicial killing yang kini sedang ditangani oleh Komnas HAM.
Sampai dengan saat ini belum ditetapkan status tersangka atas dugaan terjadinya ‘pembunuhan diluar hukum’ terhadap keenam syuhada FPI. Adapun pihak Bareskrim hampir dapat dipastikan akan menjadikan empat orang anggota laskar lainnya – yang dinyatakan sebagai buronan – sebagai tersangka. Penyidikan dilakukan atas dasar Laporan Polisi yang dibuat oleh anggota Polda Metro Jaya yang mengaku diserang oleh keenam laskar FPI. Kondisi dualisme penanganan perkara mempengaruhi putusan Pengadilan. Tidak tertutup kemungkinan akan terjadi dualisme putusan Pengadilan.
Diasumsikan sebagai berikut, terhadap keempat laskar FPI yang masih hidup didakwa dan diputus bersalah oleh Pengadilan melakukan tindak pidana penyertaan penyerangan dan kepemilikan senjata api ilegal. Disisi lain proses penyidikan dan penuntutan dugaan pelanggaran HAM berat belum terwujud. Perihal penyidikan juga akan menimbulkan polemik kompetensi, apakah mengikuti peradilan pidana biasa atau peradilan HAM.
Putusan pemidanaan bagi keempat anggota laskar FPI tersebut tentunya akan berhubungan dengan tindakan penembakan yang dilakukan oleh anggota Polda Metro Jaya.
Pada saat itu, akan terbentuk suatu dalil bahwa tindakan penembakan yang mematikan keenam syuhada FPI dianggap sah secara hukum. Dalilnya terdapat alasan pembelaan terpaksa (darurat), baik ‘pembelaan terpaksa’ (noodweer) menurut Pasal 49 Ayat (1) KUHP, maupun ‘pembelaan terpaksa yang melampui batas’ (noodweer exces) menurut Pasal 49 Ayat (2) KUHP.
Asumsi selanjutnya, terhadap penembakan maut itu sampai pada Pengadilan HAM, maka akan pula terhubung dengan vonis Pengadilan sebelumnya. Timbul pertanyaan, apakah mungkin Pengadilan HAM mampu menjatuhkan vonis bahwa penembakan itu sebagai tindakan pelanggaran HAM berat. Perlu pula dicermati, dapat saja proses penegakan hukum tidak melalui peradilan HAM, namun peradilan biasa. Pertanyaan yang relatif sama, apakah mungkin Pengadilan memvonis anggota Polda Metro Jaya bersalah telah melakukan pembunuhan biasa?
Asumsi ini sengaja penulis narasikan, sebab bukan hal yang tidak mungkin perkara dugaan kasus penyerangan a quo lebih dahulu maju ke persidangan. Pada saat yang bersamaan, proses lanjutan dugaan pelanggaran HAM berat belum mendapatkan kepastian penyidikan dan penuntutannya untuk kemudian dimajukan pada Pengadilan HAM. Permasalahan ini tentunya harus disikapi dengan seksama dan berdasarkan prinsip kebenaran dan keadilan.
Penegakan hukum terhadap pelanggaran berat HAM bersifat lex specialis dan oleh karenanya harus didahulukan. Hal ini sangat penting guna menjamin terselenggaranya proses lanjutan yang akan dilakukan, yakni proses penyidikan dan tahapan selanjutnya. Oleh karena itu, menurut penulis sudah sepatutnya Komnas HAM memberikan rekomendasi kepada pihak Bareskrim agar menghentikan proses penyidikannya. Dimaksudkan agar tewujud kebenaran dan keadilan. Kebenaran pastinya tunggal dan keadilan substansial sangat esensial bagi manunggalnya cita hukum itu sendiri, yakni kepastian, keadilan dan kemanfaatan.
Jakarta, 31 Desember 2020.
(*/arrahmah.com)