(Arrahmah.com) – Abu Hurairah, nama yang terkenal di tengah umat Islam. Baik yang awam apalagi memang pelajar agama. Ia sering disebut-sebut saat hadits Nabi akan dibacakan. Ia adalah imamnya para hafiz dan rawi-rawi hadits.
Silsilahnya
Ia adalah Abu Hurairah ad-Dausi al-Azdi al-Yamani. Berasal dari kabilah Daus bin Adnan bin Abdullah bin Zahran. Sejarawan berbeda pandangan tentang nama asli Abu Hurairah. Ada yang mengatakan namanya adalah Abdurrahman bin Shakhr. Pendapat lain menyatakan, namanya adalah Abdusy Syams. Ada lagi yang menyebut namanya adalah Abdu Amr. Sementara yang lain merincinya, di masa jahiliyah namanya Abdusy Syams dan di masa Islam menjadi Abdullah. Dan masih ada yang berpendapat selain itu (Ibnu Manjuwaih: Rijalun Shahih Muslim, 2/403). Namun pendapat yang paling masyhur menyebutkan namanya adalah Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausy (Ibnu Hajar: al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, 4/267).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu sendiri, ia berkata, “Di masa jahiliyah, namaku adalah Abdusy Syams (hamba matahari). Lalu Rasulullah menamaiku Abdurrahman (hamba Ar-Rahman).” (Ibnul Atsir: Asad al-Ghabah al-Ilmiyah, 6/313). Dan kun-yahnya adalah Abu Hurairah. Kun-yah ini lebih masyhur dari namanya. Kun-yah ini, Abu Hurairah (bapak kucing kecil), ia dapati karena kebiasannya membawa dan merawat kucing kecilnya (Ibnu Ishaq: Sirah Ibnu Ishaq [Sirah al-Maghazi], Tahqiq: Suhail Zikar, Darul Fikr, Cet: 1 Hal: 286).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga biasa memanggilnya dengan Abu Hir (bapak kucing). Di dalam hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu sendiri, ia bercerita,
دخلت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فَوَجَدَ لَبَنًا فِي قَدَحٍ فَقَالَ “أَبَا هِرٍّ الْحَقْ أَهْلَ الصُّفَّةِ فَادْعُهُمْ إِلَيَّ”. وأمه ميمونة بنت صبيح
“Aku menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kudapati ada susu di sebuah wadah. Lalu beliau berkata, ‘Abu Hir, temui orang-orang ahlu suffah. Suruh mereka menemuiku’.” [HR. al-Bukhari: Kitab al-Isti’dzan, Bab Idza Du’iya ar-Rajulu Fa-Ja-a Hal Yasta’dzin (5892)].
Ibunya bernama Maimunah binti Shubaih (ath-Thabrani: al-Mu’jam al-Kabir, Tahqia: Hamdi bin Abdul Majid as-Salafi, Maktabah Ibnu Taimiyah, Cet: 2, 25/40).
Dari Salim bin Hayyan, ia berkata, “Aku mendengar ayahku berkata, ‘Aku mendengar Abu Hurairah mengatakan, ‘Aku tumbuh besar sebagai seorang yatim. Dan aku ini seorang perantau yang miskin. Aku bekerja dengan Busrah binti Ghazwan agar bisa mengisi perutku yang kosong dan supaya kakiku bertenaga untuk melangkah. Aku melayani mereka kalau mereka di rumah. Dan sendirian saat mereka bersafar. Lalu Allah menikahkannya denganku’. Segala puji bagi Allah yang mengokohkan agama ini dan menjadikan Abu Hurairah seorang imam.” (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 4/243).
Memeluk Islam
Abu Hurairah memeluk Islam antara peristiwa Hudaibiyah dan Perang Khaibar. Di Madinah, ia adalah seorang perantau (muhajirin). Saat ia memeluk Islam, Nabi sedang berada di Khaibar (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq oleh Ibnu Asakir, Tahqiq: Amr bin Gharamah al-Amruwi, Darul Fikr, 67/312).
Keislaman Abu Hurairah ini -setelah karunia Allah- adalah berkat dakwah sahabat yang mulia, ath-Thufail bin Amr ad-Dausi. Setelah ath-Thufail memeluk Islam, ia mendakwahi kaumnya. Mereka pun menerima dakwahnya dan memeluk Islam. Lalu ia mengajak 70 atau 80 orang dari kabilahnya itu untuk datang ke Kota Madinah. Di antara mereka ada Abu Hurairah (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubrah, 1/265).
Pengaruh Rasulullah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki pengaruh besar pada kepribadian Abu Hurairah. Bagaimana tidak, sejak datang ke Madinah hingga Nabi wafat, Abu Hurairah selalu mengiringi Nabi. Wajar ia menjadi salah seorang penghafal hadits yang paling banyak di tengah para sahabat. Dalam kondisi apapun, Abu Hurairah selalu bersama Nabi. Baik saat kelaparan atau saat kenyang. Dimana ada Rasulullah, di situ ada Abu Hurairah (Ibnu Majuwaih: Rijalun Shahih Muslim, 2/403).
Jadi, walaupun kebersamaannya singkat dengan Rasulullah, Abu Hurairah mampu mencapai tingkatakan yang tak dicapai sahabat lainnya. Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ كُنْ وَرِعًا، تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ، وَكُنْ قَنِعًا، تَكُنْ أَشْكَرَ النَّاسِ، وَأَحِبَّ لِلنَّاسِ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ، تَكُنْ مُؤْمِنًا، وَأَحْسِنْ جِوَارَ مَنْ جَاوَرَكَ، تَكُنْ مُسْلِمًا، وَأَقِلَّ الضَّحِكَ، فَإِنَّ كَثْرَةَ الضَّحِكِ تُمِيتُ الْقَلْبَ
“Abu Hurairah, jadilah seorang yang wara’. Niscaya kau akan jadi seorang yang paling taat. Jadilah seorang yang qanaah (merasa cukup). Niscaya kau akan jadi seorang yang paling bersyukur. Apa yang kau suka mendapatkannya, sukai juga untuk orang lain. Niscaya kau menjadi seorang beriman yang sejati. Berbuat baiklah kepada tetanggamu. Niscaya kau jadi muslim sejati. Sedikitlah tertawa, karena banyak tertawa itu mematikan hati.” [HR. Ibnu Majah 4217. Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ ash-Shaghir wa Ziyadatihi 7833].
Abu Hurairah bercerita, “Aku pernah mendakwahi ibuku untuk memeluk Islam. Karena saat itu ia masih musyrik. Suatu Ketika kudakwahi dia. Tiba-tiba ia malah menyebut Rasulullah dengan sebutan yang benci untuk kudengar. Lalu kutemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menangis. Aku berkata, ‘Rasulullah, aku mendakwahi ibuku agar menerima Islam. Tapi ia menolak ajakanku. Hari ini kucoba lagi mendakwahinya, tapi ia malah menyebutmu dengan sesuatu yang aku benci mendengarnya. Tolong doakan kepada Allah untuk ibu Abu Hurairah. Semoga Dia memberinya hidayah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,
اللَّهُمَّ اهْدِ أُمَّ أَبِي هُرَيْرَةَ
“Ya Allah, berilah petunjuk pada ibu Abu Hurairah.”
Kemudian aku pergi dengan gembira karena doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saat aku tiba di rumah kudapati pintu tertutup. Ibuku mendengar derat suara langkahku. Ia berkata, ‘Tetap di tempatmu, Abu Hurairah’. Aku mendegar gemericik air. Ibuku mandi. Lalu ia mengenakan pakaian dan khimar. Setelah itu ia bukakan pintu. Ia berkata, ‘Abu Hurairah, aku bersaksi tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah’.
Aku kembali menuju Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kutemui beliau sambil menangis bahagia. Aku berkata, ‘Rasulullah, bergembiralah Allah telah mengabulkan doa Anda dan telah memberi petunjuk kepada ibu Abu Hurairah’. Beliau memuji dan menyanjung Allah. Kemudian berkata, ‘Khairan’. Aku berkata lagi, ‘Rasulullah, tolong doakan agar aku dan ibuku mencintai hamba-hamba Allah yang beriman dan mereka mencintai kami’. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa,
اللَّهُمَّ حَبِّبْ عُبَيْدَكَ هَذَا -يعنى أبا هريرة وأمه- إِلَى عِبَادِكَ الْمُؤْمِنِينَ وَحَبِّبْ إِلَيْهِمُ الْمُؤْمِنِينَ
“Ya Allah, buatlah dua orang hamba-Mu ini -Abu Hurairah dan ibunya- mencintai hamba-hamba-Mu yang beriman. Dan buatlah mereka juga mencintai keduanya.”
Abu Hurairah berkata, “Tidak ada seorang mukmin pun yang mendengar dan melihatku kecuali mencintaiku.” [HR. Muslim 2491 dan Ahmad 8242].
Penghafal Hadits Terbanyak
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu adalah salah seorang sahabat Nabi yang paling banyak hafalan haditsnya. Sebagaimana ucapannya sendiri,
مَا كَانَ أَحَدٌ أَحْفَظَ لِحَدِيثِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنِّي إلَّا مَا كَانَ مِنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو، فَإِنِّي كُنْتُ أَعِي بِقَلْبِي وَكَانَ يَعِي بِقَلْبِهِ، وَيَكْتُبُ بِيَدِهِ؛ اسْتَأْذَنَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ذَلِكَ “فَأَذِنَ لَهُ
“Tak ada seorang pun yang paling banyak menghafal hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melebihi diriku. Kecuali Abdullah bin Amr. Aku mengingat hadits dengan hafalanku. Sementara dia mengingat dengan hafalannya dan juga mencatatnya. Ia meminta izin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencatat, beliau pun mengizinkannya.” [ath-Thahawi: Syarah Musykilul Atsar, Tahqiq: Syu’aib al-Arnauth, 4/355]
Imam asy-Syafi’i menyatakan bahwa Abu Hurairah adalah orang yang paling banyak dinukil hadits darinya. Ada 800 orang sahabat bahkan lebih yang meriwayatkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu (Abdul Qadir bin Muhammad Nasrullah al-Qurasy: al-Jauhar al-Madhiyah fi Thabaqat al-Hanafiyyah, 2/412). Dia adalah sahabat yang paling banyak haditsnya. Ia meriwayatkan sebanyak 5374 hadits. Ada juga yang menyebutkan riwayatnya sejumlah 5364 hadits (Ibnu Hazm: Jawami’ as-Sirah, Tahqiq: Ihsan Abbas, Darul Ma’arif, Hal: 275).
Ilmu dan Amal
Selain seorang penghafal hadits, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu juga termasuk ahli ibadah di kalangan para sahabat. Ia banyak shalat, berpuasa, dzikir, dan shalat malam. Abu Hurairah berkata,
إِنِّي لَأُجَزِّئُ اللَّيْلَ ثَلَاثَةَ أَجْزَاءٍ: فَثُلُثٌ أَنَامُ، وَثُلُثٌ أَقُومُ، وَثُلُثٌ أَتَذَكَّرُ أَحَادِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسلَّمَ
“Aku membagi malam menjadi tiga bagian. Sepertiga malam kugunakan untuk tidur. Sepertiga lainnya kugunakan untuk shalat malam. Dan sepertiga lainnya lagi untuk mengulang-ulang hafalan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Riwayat ad-Darimi: Bab al-Amal bil Ilmi wa Husni an-Niyati Fihi, 272)
Abu Hurairah shalat di sepertiga bagian malam. Istrinya di bagian sepertiga yang lain. Dan anaknya di sepertiga yang lain (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 67/362).
Dari Abu Utsman, ia berkata, “Aku menjamu Abu Hurairah selama tujuh hari. Ia, istrinya, dan pembantunya membagi malam menjadi tiga bagian. Yang satu shalat di satu waktu. kemudian bergantian dengan yang lain (Riwayat al-Bukhari: Kitab al-Ath’imah Bab ar-Ruthab bi al-Qatsa 5125 dan Ahmad 8618). Ia juga terbiasa berpuasa Senin dan Kamis. Ia berkata, ‘Ini adalah dua hari dimana amalan diangkat (Ibnu Asakir: 67/363). Dan ia mengerjakan shalat sunnah di setiap harinya sebanyak 1000 rakaat. Ia berkata, ‘Aku shalat sunnah sekadar dosaku’.” (Ibnul Jauzi: al-Muntazham fi Tarikh al-Umam wa al-Mulk, 5/315).
Bersama Rasulullah
Begitu banyak rekam kebersamaan Rasulullah dengan Abu Hurairah. Ia benar-benar memanfaatkan momen istimewa itu. Ia optimalkan usia hidup Nabi, memetik hikmah darinya agar bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya. Ia sadar, ia sudah tertinggal. Karena tak bersama Nabi sejak awal. Sehingga di waktu yang tersisa, harus ia maksimalkan. Di antara remakan kebersamaannya dengan Rasulullah, tercatat dalam Riwayat-riwayat berikut ini:
من هذه المواقف ما ذُكِر عند البخاري وغيره: عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: “أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِيَهُ فِي بَعْضِ طَرِيقِ الْمَدِينَةِ وَهُوَ جُنُبٌ، فقال أبو هريرة رضي الله عنه: فَانْخَنَسْتُ مِنْهُ فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ: أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، قَالَ: كُنْتُ جُنُبًا فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ، فَقَالَ: سُبْحَانَ اللَّهِ إِنَّ الْمُسْلِمَ لَا يَنْجُسُ”
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan selainnya dari Abu Hurairah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berjumpa dengannya di salah satu jalan Madinah, sementara ia dalam keadaan junub. Abu Hurairah berkata, “Aku malu dan pergi diam-diam”. Abu Hurairah lalu pergi mandi dan kembali lagi setelah itu. Nabi lalu bertanya, “Kemana kau tadi, Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab, “Aku tadi junub. Dan aku tidak suka bersama Anda dalam keadaan tidak suci.” Beliau pun bersabda, “Subhaanallah! Sesungguhnya seorang muslim itu tidak itu najis.” [HR. al-Bukhari 279].
وعنه -أيضًا- أَنَّهُ قَالَ: قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِكَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَقَدْ ظَنَنْتُ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ أَنْ لَا يَسْأَلُنِي عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ أَحَدٌ أَوَّلُ مِنْكَ لِمَا رَأَيْتُ مِنْ حِرْصِكَ عَلَى الْحَدِيثِ، أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ”.
Diriwayatkan juga dari Abu Hurairah, ia berkata, “Ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah siapakah orang yang berbahagia dengan syafaatmu pada hari kiamat?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku telah menduga wahai Abu Hurairah, bahwa tidak ada orang yang mendahuluimu dalam menanyakan masalah ini. Karena kulihat betapa perhatian dirimu terhadap hadits. Orang yang berbahagia dengan syafaatku di hari kiamat adalah orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas dari hatinya atau jiwanya”. [HR. al-Bukhari 6201, an-Nasai 5842, dan Ahmad 8845].
Abu Hurairah menceritakan kisahnya yang pernah dilanda rasa lapar hebat. Ia berkata, “Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang benar kecuali Dia. Aku pernah tengkurap bersandar pada sisi badanku karena kelaparan. Padahal saat itu sudah kusumpal perutku dengan batu untuk menahan lapar. Lalu aku duduk di jalan yang biasa dilewati orang-orang. Lewatlah Abu Bakar. Aku bertanya padanya tentang tafsir suatu ayat dari Kitabullah. Maksudku bertanya tidak lain agar ia mengajak aku makan. Ternyata ia berlalu, tanpa melakukan apa yang kuharapkan.
Kemudian aku bertemu Umar. Aku bertanya juga padanya tentang tafsir satu ayat dari Kitabullah. Maksudku bertanya tidak lain agar supaya ia mengajakku makan. Ternyata ia tak melakukan apa yang kuharapkan.
Lalu aku bertemu dengan Abul Qashim shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tersenyum saat melihatku. Beliau paham kondisiku dari raut wajahku. Beliau berkata, ‘Hai Abu Hir’. ‘Iya, Rasulullah’, jawabku. Beliau berkata, ‘Sini’. Beliau berjalan dan aku mengikutinya. Beliau masuk rumah, aku pun minta izin masuk. Beliau izinkan. Aku pun masuk.
Di rumah Nabi terdapat susu di suatu wadah. Beliau bertanya kepada yang di rumah, ‘Dari mana susu ini?’ Mereka menjawab, ‘Hadiah untuk Anda dari Fulan atau Fulanah’. Beliau berkata, ‘Abu Hir’. Aku menjawab, ‘Labbaik ya Rasulullah’. ‘Temui orang-orang ahlu suffah (orang-orang miskin yang tinggal di masjid). Ajak mereka ke sini’. Abu Hurairah berkata, ‘Ahlu suffah adalah tamu-tamu Islam. Mereka tidak punya keluarga, harta, dan seorang pun yang bisa mereka andalkan. Kalau Nabi mendapatkan sedekah, beliau kirim untuk mereka. Beliau sama sekali tidak menikmatinya. Kalau beliau mendapatkan hadiah, beliau nikmati dan membagi juga untuk mereka. Hal inilah yang membuatku risau.
Aku berkata (dalam kelaparanku pen.), ‘Apalah arti susu satu wadah ini dengan banyaknya ahlu suffah. Semestinya akulah yang layak duluan menenggak susu ini. Sehingga tubuhku bisa bugar lagi dengan asupan ini. Setelah mereka kupanggil, ternyata akulah orang yang disuruh menuanggkan untuk mereka. Tentu tak ada lagi susu yang tersisa untukku. Namun karena menaati Allah dan Rasul-Nya, kutemui mereka dan kuajak mereka. Mereka pun menyambutnya. Saat sampai, mereka minta izin masuk. Mereka pun diizinkan. Mereka menempati posisi mereka masing-masing.
Rasulullah mengatakan, ‘Abu Hir’. ‘Iya, Rasulullah,’ jawabku. ‘Ambil susu itu dan tuangkan untuk mereka’, perintah Nabi. Kuambil susu itu. Lalu kutuangkan kepada salah satu dari mereka sampai mereka menolak untuk dituangkan lagi karena kenyang. Kuambil lagi wadah itu lalu kutuangkan pada yang lain. Ia minum sampai kenyang. Kemudian wadah itu dikembalikan padaku. Kuserahkan lagi pada yang lain. Ia minum sampai kenyang juga.
Akhirnya, aku tiba di posisi duduk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. orang-orang lainnya sudah kenyang semua. Beliau ambil wadah susu itu lalu diletakkan di tangannya. Beliau menatapku dan berkata, ‘Abu Hir’. ‘Labbaik, Rasulullah’, jawabku. ‘Tinggal aku dan engkau sekarang’, kata beliau. Aku berkata, ‘Benar, Rasulullah’. Beliau berkata, ‘Duduk dan minumlah’. Aku pun duduk kemudian minum. Beliau berkata, ‘Minumlah lagi’. Beliau terus ulang ucapan itu sampai aku yang mengatakan, ‘Tidak. Demi yang mengutusmu dengan kebenara, tidak ada lagi tempat di perutku (untuk menampung susu ini)’. Beliau berkata, ‘Perlihatkan padaku’. Aku pun memberikan wadah itu kepada beliau. Lalu beliau memuji Allah, menyebut nama-Nya dan meminum yang tersisa [HR. al-Bukhari 6087 dan Ahmad 10690].
Riwayat ini menunjukkan mukjizat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan keberkahan beliau, satu wadah kecil susu bisa mengenyangkan puluhan orang yang kelaparan.
Dakwah dan Pengajaran
Abu Hurairah memiliki pengaruh besar bagi orang-orang di sekitarnya. Ia membagikan perbendaharaan besar warisan Nabi yang ada padanya. Ia telah berderma kepada umat ini dengan kebaikan yang amat banyak.
ومن ذلك أنَّه مرَّ بسوق المدينة، فوقف عليها فقال: يا أهل السوق، ما أعجزكم! قالوا: وما ذاك يا أبا هريرة؟ قال: ذاك ميراث رسول الله يقسَّم، وأنتم ها هنا لا تذهبون فتأخذون نصيبكم منه. قالوا: وأين هو؟ قال: في المسجد. فخرجوا سراعًا إلى المسجد، ووقف أبو هريرة لهم حتى رجعوا، فقال لهم: ما لكم؟ قالوا: يا أبا هريرة، فقد أتينا المسجد فدخلنا فلم نرَ فيه شيئًا يُقسَّم. فقال لهم أبو هريرة: أَمَا رأيتم في المسجد أحدًا؟ قالوا: بلى، رأينا قومًا يُصلُّون، وقومًا يقرءون القرآن، وقومًا يتذاكرون الحلال والحرام. فقال لهم أبو هريرة: ويحكم! فذاك ميراث محمد.
Suatu hari, ia pernah lewat di pasar Madinah, ia berhenti di sana dan berkata, ‘Hai orang-orang yang ada di pasar, betapa lemahnya kalian!’ Orang-orang menjawab, ‘Mengapa bisa demikian, Abu Hurairah’? Ia berakta, ‘Itu, warisan Rasulullah sedang dibagi-bagi. Sementara kalian di sini saja tidak beranjak untuk mengambil bagian kalian’. Mereka berkata, ‘Dimana warisan itu’? ‘Di masjid’, jawab Abu Hurairah. Mereka pun cepat-cepat keluar dari pasar menuju masjid. Abu Hurairah masih di pasar sampai mereka Kembali. Ia berkata pada mereka, ‘Apa yang kalian dapatkan’? Mereka menjawab, ‘Abu Huraiarh, kami telah datang ke masjid. Bahkan kami masuk ke dalamnya. Tapi kami tak melihat sesuatu yang dibagi-bagikan’. Abu Hurairah berkata, ‘Apakah kalian tidak melihat seorang pun di masjid’? Mereka jawab, ‘Lihat. Ada orang yang shalat. ada yang membaca Alquran. Ada yang sedang membahas perkara halal dan haram’. Abu Hurairah berkata, ‘Celaka kalian ini! Itulah warisannya Muhammad’. (Riwayat ath-Thabrani fi al-Wasith, 1429).
Wafatnya
Abu Salamah berkata, ‘Aku membesuk Abu Hurairah saat sakit. Kusandarkan kepalanya di dadaku. Kudoakan dia, ‘Ya Allah sembuhkanlah Abu Hurairah’. Ia malah berdoa, ‘Ya Allah, jangan sembuhkan dia’. Abu Hurairah melanjutkan ucapannya, ‘Abu Salamah, kalau seandainya kau bisa wafat saat ini, wafatlah’. Aku menanggapi, ‘Bukankah kita ini berharap terus hidup, Abu Hurairah’. Ia berkata,
وَالَّذِي نَفْسُ أَبِي هُرَيْرَةَ بِيَدِهِ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى الْعُلَمَاءِ زَمَانٌ الْمَوْتُ أَحَبُّ إِلَى أَحَدِهِمْ مِنَ الذَّهَبِ الْأَحْمَرِ، لَيَأْتِيَنَّ أَحَدُكُمْ قَبْرَ أَخِيهِ فَيَقُولُ: لَيْتَنِي مَكَانَهُ
“Demi Dzat yang jiwa Abu Hurairah berada di tangan-Nya. Pasti akan datang pada para ulama, suatu zaman yang kematian itu lebih mereka harapkan dibanding emas yang mengkilap. Pasti akan datang suatu masa, saat itu kalian ziarah ke kubur saudara kalian dan mengatakan, ‘Seandainya aku yang menempati tempatnya sekarang’. (Riwayat al-Hakim 8581. Hadits ini shahih sesuai dengan syarat al-Bukhari dan Muslim. Walaupun keduanya tidak meriwayatkannya).
Umair bin Hani’ mengatakan bahwa abu Hurairah berkata, “Ya Allah, aku berlindung padamu dari menjumpai tahun 60 H.” (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 67/380). Umair berkata, “Abu Hurairah pun wafat di tahun tersebut atau satu tahun sebelumnya.” (Ibnu Asakir: Tarikh Dimasyq, 67/385-386).
Saat sedang sakaratul maut, Abu Hurairah berkata, “Jangan buatkan tempat berteduh. Jangan iringi aku dengan pedupaan. Dan segerakan pemakamanku.” (Riwayat Ahmad 7901. Syu’aib al-Arnauth berkata, “Shahih li ghairihi dan sanadnya hasan).
Para sejarawan tidak sepakat pada satu pendapat tentang tahun wafatnya Abu Hurairah. Ada yang mengatakan tahun 57 H. Ada pula yang berpendapat tahun 58 dan 59. Dan pendapat lainnya. Namun pendapat yang kuat, Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu wafat pada tahun 57 H (Ibnu Hajar al-Asqalani: al-Ishabah fi Tamyiz ash-Shahabah, 7/362). Saat itu, usianya mencapai 78 tahun (Ibnu Saad: ath-Thabaqat al-Kubra, 4/254).
Sumber: Kisah Muslim
(*/arrahmah.com)