WASHINGTON (Arrahmah.com) – Sebuah laporan terbaru mengungkap kondisi yang dialami ratusan ribu etnis UIghur di wilayah Xinjiang, barat laut Cina. Mereka dipaksa memetik kapas dengan tangan oleh Cina melalui skema kerja paksa.
Laporan dari lembaga pemikir yang berbasis di Washington, Center for Global Policy, yang diterbitkan pada Senin (14/12/2020) mengatakan bahwa pada tahun 2018, tiga wilayah mayoritas Muslim UIghur di Xinjiang mengirim setidaknya 570.000 orang untuk memetik kapas sebagai bagian dari skema transfer tenaga kerja koersif yang dikelola negara.
Para peneliti memperkirakan bahwa jumlah total yang terlibat dalam pemetikan kapas di Xinjiang melebihi angka itu.
Xinjiang adalah pusat global untuk tanaman tersebut. Wilayah ini memproduksi lebih dari 20 persen kapas dunia, dengan laporan yang memperingatkan konsekuensi yang berpotensi drastis untuk rantai pasokan global.
Sekedar informasi, sekitar seperlima dari benang yang digunakan dalam produk Amerika berasal dari Xinjiang.
Aktivis hak asasi manusia mengatakan wilayah Xinjiang barat laut adalah rumah bagi jaringan luas kamp interniran di luar hukum yang telah memenjarakan setidaknya satu juta orang. Namun pemerintah Cina mengatakan jika kamp tersebut adalah pusat pelatihan kejuruan untuk melawan ekstremisme.
Beijing mengatakan bahwa semua tahanan telah “lulus” dari pusat-pusat tersebut, tetapi laporan menunjukkan bahwa banyak mantan narapidana telah dipindahkan ke pekerjaan pabrik berketerampilan rendah, sering kali dihubungkan dengan kamp.
Namun laporan lembaga think tank tersebut mengatakan peserta skema transfer tenaga kerja sangat diawasi oleh polisi, dengan transfer point-to-point, manajemen gaya militer dan pelatihan ideologis, mengutip dokumen pemerintah.
“Jelas bahwa transfer tenaga kerja untuk pemetikan kapas melibatkan risiko kerja paksa yang sangat tinggi,” kata Adrian Zenz, yang mengungkap dokumen tersebut, dalam laporan itu.
“Beberapa minoritas mungkin menunjukkan tingkat persetujuan sehubungan dengan proses ini, dan mereka mungkin mendapatkan keuntungan secara finansial. Namun tidak mungkin untuk menentukan di mana paksaan berakhir dan di mana persetujuan lokal dapat dimulai,” sambungnya seperti dikutip dari The Guardian, Selasa (15/12).
Laporan itu juga mengatakan ada insentif ideologis yang kuat untuk menegakkan skema tersebut, karena peningkatan pendapatan pedesaan memungkinkan para pejabat mencapai target pengentasan kemiskinan yang diamanatkan negara.
Cina membantah keras tuduhan kerja paksa yang melibatkan etnis Uyghur di Xinjiang, dan menuduh AS ingin menekan perusahaan Xinjiang.
Beijing juga mengatakan program pelatihan, skema kerja, dan pendidikan yang lebih baik telah membantu memberantas ekstremisme di wilayah tersebut.
Awal bulan ini, AS melarang impor kapas yang diproduksi oleh Korps Produksi dan Konstruksi Xinjiang, sebuah entitas paramiliter utama, yang mencakup sekitar sepertiga dari tanaman yang diproduksi di seluruh wilayah itu.
RUU lain yang diusulkan melarang semua impor dari Xinjiang belum lolos ke Senat AS.
Beberapa merek internasional termasuk Adidas, GAP, dan Nike telah dituduh menggunakan tenaga kerja paksa Uyghur dalam rantai pasokan tekstil mereka, menurut laporan bulan Maret oleh Australian Strategic Policy Institute. (Hanoum/Arrahmah.com)