(Arrahmah.com) – Belum beres mengatasi pandemi Covid 19, negeri ini pun sebenarnya masih punya PR dalam masalah penanganan kasus kesehatan lainnya, yaitu HIV-AIDS (Human Imun Vyrus-Acquired Immuno Deficiency Syndrome). Ia merupakan virus yang bisa menyebabkan sebuah kondisi yang disebut AIDS.
Nama HIV menggambarkan seperti apa virus ini, hanya menginfeksi manusia dan menyerang sistem kekebalan tubuh, membuatnya menjadi tidak bisa bekerja efektif seperti seharusnya. Virus ini hidup dalam cairan tubuh seperti darah, air mani, dan cairan vagina.
Mirisnya, penularannya terjadi melalui hubungan seks dengan orang yang mengidap HIV/AIDS tanpa menggunakan kondom, transfusi darah, penggunaan jarum suntik yang tidak steril, dan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada bayi yang sedang dikandung.
Berbagai upaya pengatasan kasus HIV-AIDS telah ditempuh oleh pemerintah. Namun, sayang hasilnya belum dirasa signifikan di tengah masyarakat. Masih saja memprihatinkan.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan dr. Siti Nadia Tarmizi, M. Epid mengatakan sebenarnya banyak hal yang sudah dilakukan pemerintah sepanjang perjalanan HIV/AIDS di Indonesia sejak tahun 1987. Pertama kali ditemukan di Indonesia dan kemudian menjadi program nasional di Kementerian Kesehatan.
Di awal tahun 2012 estimasi orang dengan HIV/AIDS di Indonesia ada sekitar 630 ribu. Estimasi ini cukup baik karena kemudian angkanya turun menjadi 543 ribu di 2018.
“Jadi ini merupakan kerja bersama kita dan kerja semua. Tidak bisa hanya oleh sektor kesehatan saja, di berbagai lintas sektor dan lintas program ikut terlibat dari mulai upaya pencegahan sejak tentunya remaja, bagaimana mengubah perilaku beresiko seksual, ataupun bagaimana pengobatan dan sehingga seseorang yang terinfeksi HIV/AIDS tidak jatuh pada kondisi terpuruk dan tetap beraktivitas secara normal,” kata dr. Nadia saat media briefing secara virtual, Senin (30/11) di Gedung Kemenkes, Jakarta(kemenkes.go.id/30/11/2020).
Upaya lain pun dilakukan Pemerintah. Pada 2017 telah dicanangkan strategi Fast Track 90-90-90 yang meliputi percepatan pencapaian 90% orang mengetahui status HIV melalui tes atau deteksi dini; 90% dari ODHA yang mengetahui status HIV memulai terapi ARV, dan 90% ODHA dalam terapi ARV berhasil menekan jumlah virusnya sehingga mengurangi kemungkinan penularan HIV, serta tidak ada lagi stigma dan diskriminasi ODHA.
Dalam rangka mencapai target itu, Kementerian Kesehatan menerapkan strategi akselerasi Suluh, Temukan, Obati dan Pertahankan (STOP). Suluh dilaksanakan melalui edukasi yang menargetkan sekitar 90% masyarakat paham HIV; Temukan dilakukan melalui percepatan tes dini dan diharapkan sekitar 90% ODHA tahu statusnya; Obati dilakukan untuk mencapai 90% ODHA segera mendapat terapi ARV; dan Pertahankan yakni 90% ODHA yang ART tidak terdeteksi virusnya.
Selain itu, Kemenkes melakukan akselerasi ARV, dengan target pada tahun 2020 sebanyak 258.340 ODHA yang mendapat terapi ARV. Saat ini baru 50% atau 17 provinsi yang telah mencapai target ODHA on ART yaitu: Aceh, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Babel, Jabar, Banten, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalsel, Kaltim, Kalteng, Sulut dan Gorontalo (Kemenko.pmk/7/03/2020).
Upaya ditempuh untuk mengatasi sumber masalah. Namun, mestilah dikembalikan pada pemicu tingginya penderita HIV-AIDS, yang tak lain berpangkal dari beberapa perilaku yang menyimpang, yaitu suburnya seks bebas, penyimpangan seks seperti homo . Walaupun ada sekian persen kecilnya dipicu oleh transfusi darah. Namun, tidak dipungkiri perilaku seks bebas yang mendominasi sebagai penyumbangnya, disusul penggunaan jarum suntik tak steril saat pesta narkoba.
Gaya hidup permisif telah menjangkiti masyarakat Indonesia, tak terkecuali di kalangan remaja. Bersikap terbuka, serba boleh melakukan apa yang disuka, tanpa memperhatikan norma. Gaya hidup ini merupakan buah dari pemikiran sekuler-liberal. Pemikiran Barat yang menjunjung pemisahan nilai-nilai agama dari kehidupan. Pemikiran yang memuja kebebasan demi menikmati kehidupan.
Adanya gaya hidup dan pemikiran sesat ala Barat tersebut telah berhasil menyeret generasi menjadi kaum yang rapuh dan krisis identitas. Menjadikan mereka jauh dari peran generasi yang semestinya membangun bangsa demi tercipta peradaban mulia.
Sejatinya, HIV/AIDS bukan sekadar masalah kesehatan fisik biasa. Penyakit ini merupakan dampak sosial yang ditimbulkan oleh gaya hidup yang salah seperti seks bebas, penyimpangan orientasi seks (lesbi & homo), penyalahgunaan narkoba, dll, sehingga penyakit ini disebut sebagai life style disease.
Dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS, Islam memformulasikan solusi yang mampu menyelesaikan akar masalah, bersifat holistik serta terintegrasi seluruh aspek kehidupan.
Hal demikian karena HIV/AIDS adalah penyakit yang hingga saat ini tidak ada obat mujarabnya, maka metode penanggulangan yang diterapkan haruslah memenuhi prinsip-prinsip untuk mencegah kemunculan perilaku beresiko sejak dini (preventif), memberantas perilaku berisiko penyebab yang ada; dan mencegah penularan kepada orang sehat (solutif).
Maka urgensi prinsip-prinsip mendasar tersebut darurat untuk segera diterapkan. Prinsip yang diderivasi dari keyakinan dan hukum-hukum Islam yang bersumber dari sosok Sang Pencipta manusia, untuk menyelesaikan problem apapun yang dihadapi manusia. Adanya sebagai berikut.
Prinsip pertama, mencegah kemunculan perilaku berisiko dilakukan dengan menyelenggarakan pendidikan dan pembinaan kepribadian Islam, menciptakan lingkungan yang Islami, dan memberantas lingkungan yang menyimpang.
Prinsip kedua, memberantas perilaku berisiko penyebab (seks bebas dan penyalahgunaan narkoba) dengan menutup rapat peluang terjadinya perzinahan seperti prostitusi; menutup terjadinya penyalahgunaan obat terlarang; sampai memberikan sanksi tegas pada pelaku perzinahan, seks menyimpang, penyalahgunaan narkoba, konsumen khamr, beserta pihak-pihak yang terkait. Sampai sanksi mampu memberikan efek jera. Dengan menegakkan sistem hukum dan sistem persanksian Islam dalam kepemimpinan Islam (khilafah).
Prinsip ketiga, pencegahan penularan kepada orang sehat dilakukan dengan mengisolasi ODHA (Orang dengan HIV-AIDS) untuk benar-benar memastikan putusnya rantai penularan. Selain itu,diperlukan juga pendidikan yang benar tentang HIV/AIDS kepada semua kalangan disertai sosialisasi sikap yang diharapkan dari masing-masing pihak (komunitas ODHA/OHIDA, komunitas risiko tinggi, komunitas rentan). Adanya pendidikan tersebut mesti disertai aktivitas penegakan hukum kepada ODHA yang melakukan tindakan yang ’membahayakan’.
ODHA pun ditempa dengan pembinaan rohani, pemberdayaan ODHA sesuai kapasitas, dan memastikan kebijakan penanganan yang tepat tanpa adanya diskriminasi terhadap mereka.
Semua prinsip tersebut dapat terwujud paripurna jika syariat Islam kaffah diterapkan dalam institusi mulia yang pernah dicontohkan oleh Rasulullaah Saw. dan Khulafaur Rasyidin. Tiada lain adalah kepemimpinan Islam yang mampu menjaga umat dari berbagai gaya hidup amoral yang mengundang virus dan penyakit berbahaya, tapi juga menjaga kekokohan aqidah umat dari berbagai pemikiran sesat yang membahayakan. Sehingga suasana keimanan terjaga, akan mengundang ridho dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan mendatangkan murka-Nya.
Dan jika penduduk negeri beriman dan bertakwa ( kepada Allah sesungguhnya Kami ( Allah ) bukakan kepada mereka ( pintu-pintu ) berkah dari langit dan bumi; Tetapi mereka mendustakan ( ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka lantaran apa yang telah mereka kerjakan.” ( Qs. Al-A’raf: 96 )
Wallaahu’alam bishowab
*Komunitas Penulis Bela Islam
(ameera/arrahmah.com)