PARIS (Arrahmah.com) – Seorang fotografer Suriah yang terluka saat tengah meliput protes pada akhir pekan di Paris mengatakan pada Senin (30/11/2020) bahwa pemandangan “darah di mana-mana” selama bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa membawa kembali kenangan pahit akan tindakan keras di negara asalnya, yang terjadi hampir satu dekade lalu.
Ameer al-Halbi, seorang fotografer lepas yang telah bekerja untuk Agence France-Presse (AFP) dan pernah bertugas untuk meliput perang yang berkecamuk di kota asalnya Aleppo, Suriah, membutuhkan perawatan untuk luka di wajah yang menyebabkan pendarahan hebat.
AFP dan organisasi berita lainnya mengutuk insiden itu, dan polisi Paris meluncurkan penyelidikan internal untuk menentukan keadaan di mana Al-Halbi terluka saat meliput demonstrasi.
Al-Halbi mengatakan dia dipukul saat mengambil gambar pasukan keamanan menggunakan pentungan untuk membubarkan para demonstran, yang menentang undang-undang keamanan baru, di Place de la Bastille di pusat kota Paris.
“Insiden itu membuat saya frustasi karena kenangan pahit dan mengerikan di Aleppo muncul kembali. Situasi yang sama, dengan darah di mana-mana, sembilan tahun kemudian, dan itu terjadi di Paris,” kata Al-Halbi (24) kepada AFP saat ia pulih di rumahnya di Paris.
“Saya selalu melakukan pekerjaan saya. Saya tidak menyangka hal ini bisa terjadi,” katanya.
Dia mengatakan situasi itu mengingatkannya pada demonstrasi yang dia hadiri di Aleppo pada tahun 2012, di fase awal pemberontakan melawan rezim Bashar Asad, di mana dia terluka akibat dua peluru di tangan.
“Seperti kondisi di Paris, saat itu saya terjebak di antara para demonstran dan polisi dan tidak bisa segera pergi ke rumah sakit,” kenangnya.
“Saya jelas tidak sedang membandingkan antara Prancis dan Suriah, sungguh kekerasan di sana tidak ada bandingannya,” kata Al-Halbi. “Tapi sangat mengejutkan ketika kenangan pahit itu kembali muncul akibat insiden di Paris, di tempat di mana saya tidak pernah membayangkan akan melihat darah di mana-mana,” imbuhnya.
Al-Halbi mengatakan bentrokan dimulai ketika dia tiba di alun-alun Bastille tetapi dia terus memotret meski situasinya semakin tegang.
“Sebelum (dipukul) saya mengambil foto polisi yang sedang memukuli seseorang,” katanya. Al-Halbi mengatakan dia sangat fokus pada pengambilan gambar sehingga tidak jelas apa yang terjadi selanjutnya.
“Polisi tiba dan saya menemukan diri saya di tanah … Saya pikir itu pukulan tunggal. Orang-orang berjalan di atas saya dan kemudian seseorang membantu saya,” katanya.
Dia mengatakan dia tidak memiliki rompi pelindung karena telah “disita oleh polisi” saat meliput demonstrasi sebelumnya, yang dilakukan oleh pengunjuk rasa anti-pemeritnah “berbaju kuning”, karena dia tidak memiliki kartu pers.
“Saya lebih takut kehilangan kamera daripada kehilangan nyawa saya. Saya tidak berpikir saya terluka, saya tidak benar-benar merasakan sakitnya,” katanya.
“Ketika saya sampai di ujung jalan, saya melihat darah di pakaian dan di kamera saya,” kata Al-Halbi.
Dokter mengoperasi hidung dan matanya selama 30 menit tanpa anestesi karena takut terjadi perdarahan. “Saya menangis. Sangat menyakitkan,” katanya.
Al-Halbi, yang tiba di Prancis tiga tahun lalu dan telah memenangkan beberapa penghargaan atas liputannya tentang Suriah, mengatakan dia sebelumnya tidak percaya bahwa polisi di luar negara asalnya juga dapat menggunakan kekerasan.
“Pertama kali saya meliput demonstrasi di Paris, saya mengambil foto yang menunjukkan kekerasan tetapi saya berada di negara yang menghormati kebebasan pers. Jadi saya tidak menduga hal ini terjadi di Paris. Itu mengejutkan. Saya tidak bisa tidur, saya terus dihantui kenangan saat saya meliput perang di Aleppo, semuanya seakan terjadi lagi tepat di depan mata saya,” katanya. (rafa/arrahmah.com)