Oleh: Rina Yulistina
(Arrahmah.com) – Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2020 mengalami pertumbuhan negatif atau kontraksi sebesar 3,49%. Dengan pertumbuhan negatif tersebut, bearti ekonomi Indonesia mengalami kontraksi dalam dua kuartal terakhir, pada kuartal II 2020 ekonomi Indonesia minus 5,32%. Itu berarti ekonomi Indonesia resmi jatuh ke dalam jurang resesi.
Jauh sebelum negara api menyerang yaitu korona, ekonomi Indonesia sudah tidak bisa dibilang baik-baik saja. Ekonomi nasional hanya tumbuh diangka sekitar 5%, hal ini bertolak belakang dengan janji Presiden dikala kampanye yang menargetkan pertumbuhan ekonomi 7% ditengah kenaikan hutang yang gila-gilaan.
Saat ini, ditengah resesi ekonomi Bank Indonesia mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia meningkat. Posisi ULN Indonesia pada akhir triwulan II 2020 tercatat sebesar 408.6 miliar dolar AS. ULN Indonesia tersebut tumbuh 5,0% (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan triwulan sebelumnya sebesar 0,6% (yoy). Tentunya hal ini akan mempersulit Indonesia untuk keluar dari jerat resesi.
Lalu, bagaimana kabar ekonomi dunia? Seperti data yang dihimpun pada kompas.com terdapat 14 negara resmi jatuh pada lubang resesi diantaranya Amerika Serikat pertumbuhan minus hingga 32,9% pada kuartal II 2020, Jerman pertumbuhan ekonomi minus 10,1% pada kuartal II 2020, Prancis pertumbuhan ekonomi minus 13,8% pada kuartal II 2020, Italia pertumbuhan ekonomi minus 17,3% pada kuartal II 2020, Korea Selatan minus 3,3% pada kuartal II 2020, Malaysia minus 16,5% pada kuartal II 2020, Polandia minus 8,9% pada kuartal II 2020, Thailand minus 12,2% pada kuartal II 2020, Jepang 7,8% pada kuartal II 2020.
Itu artinya resesi dialami oleh banyak negara di dunia bahkan negara yang notabene merupakan penguasa ekonomi dunia juga tak luput akan resesi, sebenarnya kondisi ini telah diprediksi oleh Bank Dunia memproyeksi ekonomi global pada tahun ini negatif hingga mencapai 5,2%, jika di urut kebelakang resesi yang dialami oleh hampir seluruh dunia ini merupakan efek domino yang sebenarnya belum terselesaikan semenjak krisis global 2008 silam.
Sudah barang tentu keterpurukan ekonomi dunia mempengaruhi ekonomi nasional, ekonomi nasional mempengaruhi ekonomi masyarakat secara umum dan sebaliknya. Kondisi saat ini masyarakat bisa makan sehari-hari saja sudah sangat bersyukur, kebutuhan diluar kebutuhan pokok banyak yang ditekan. Namun, tak sedikit diantara kita yang kondisininya memprihatinkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan primer sehari-hari saja sangat kesusahan. Bukan karena kebutuhan pokok yang harganya meroket yang menyebabkan masyarakat susah untuk memenuhi kebutuhannya melainkan harga kebutuhan pokok turun diikuti oleh daya beli masyarakat yang turun pula. Berdasarkan data BPS melakukan survei pada 90 kota dan hasilnya 53 kota mengalami deflasi sedangkan 37 kota lainnya mengalami inflasi. Deflasi tertinggi terjadi di Kupang sebesar 0,92%.
Oleh karena itu, kondisi ekonomi saat ini bukan inflasi namun deflasi dimana harga barang turun sedangkan konsumsi turun menyebabkan barang dan jasa melimpah tak terserap, hal ini menyebabkan ekonomi lesu. Padahal ekonomi riil berupa daya beli masyarakat sangat penting sekali untuk membebaskan diri dari jurang resesi.
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah dengan berbagai bantuan sosial, langkah-langkah ini pun dilakukan pula oleh negara-negara lain di seluruh dunia dengan jumlah bantuan sosial yang tergolong fantastik dibandingkan dengan bantuan dalam negeri. Namun upaya-upaya yang telah digelontorkan tak bisa mengembalikan daya beli masyarakat agar terjadi pertumbuhan ekonomi. Kenapa hal tersebut bisa terjadi?
Maka perlu difahami penyebab deflasi itu sendiri. Deflasi bukan terjadi karena masalah supply and demand, karena jika letak permasalahan ada di supply and demand maka langkah yang dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan distribusi barang dan jasa secara merata. Namun, kasus deflasi terjadi dimana daya beli masyarakat turun sehingga tak sanggub untuk menyerap barang dan jasa yang ada di pasar. Sehingga jika langkah yang diambil oleh pemerintah dengan bantuan sosial yang tujuannya supaya mampu meningkatkan daya beli masyarakat sehingga bisa menyerap barang dan jasa sehingga ekonomi diharapkan bisa stabil nyatanya ekonomi hingga detik ini belum stabil deflasi terjadi hingga dua kali semenjak covid menyerang negara kita. Hal ini terjadi disebabkan oleh bantuan sosial merupakan solusi parsial yang tidak menyentuh akar masalah deflasi itu sendiri.
Maka harus ada langkah yang lebih jauh tidak sekedar memberikan bantuan sosial semata. Masyarakat membutuhkan pendapatan yang bisa digunakan untuk melakukan konsumsi maka pekerjaan dengan gaji yang sesuai merupakan hal yang krusial yang harus disediakan oleh negara namun sayangnya pemerintah malah sibuk mengesahkan UU Ciptakerja yang didemo massal oleh masyarakat karena isi didalamnya dinilai merugikan pekerja.
Selain masalah pekerjaan dan upah kerja, ekonomi moneter mempengaruhi makro dan mikro ekonomi. Selain itu ekonomi moneter ini pun lingkupnya bukan sebatas dalam satu negara saja namun secara global yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. Seperti penggunaan uang kertas yang berkaitan dengan nilai instrinsik, valuta asing yang menggunakan standar dollar.
Penggunaam uang kertas atau fiat money dan valuta asing inilah yang sebenarnya menyebabkan kurs rupiah dikontrol oleh dolar AS akhirnya yang diuntungkan adalah AS.
Selain itu ekonomi non riil seperti reksa dana, saham dkk yang mendominasi ekonomi secara global menyebabkan ekonomi sangat rapuh terkena virus covid19 langsung ambyar ekonomi diseluruh dunia, padahal ekonomi ambyar akibat virus juga pernah terjadi pada tahun 1918 yaitu flu spanyol, World Economic Forum memperkirakan bahwa wabah tersebut menurunkan PDB riil per kapita sebesar 6-8 persen dan merupakan guncangan makroekonomi paling negatif keempat dalam sejarah AS setelah Perang Dunia II, The Great Depression, dan Perang Dunia I (bisnis.com).
Bukan sekedar virus yang menghancurkan ekonomi namun great depression AS yang berlangsung selama 10 tahun, mulai dari 1929 sampai 1939 akibat buble ekonomi bursa saham. Di tahun 2008 kembali terjadi akibat kredit macet poperty AS yang berimbas keseluruh dunia.
Sehingga untuk mengentaskan resesi ekonomi global tak cukup dengan suntik dana sosial namun harus ada perombakan sistem ekonomi global saat ini. Seperti menghentikan adanya fiat money diganti dengan emas dan perak karena nilainya stabil sehingga tidak mudah mengalami resesi, cadangan valuta asing pun seharusnya juga bersandar pada emas dan perak sehingga tidak mudah dipermainkan, menghentikan ekonomi non riil berupa bursa saham dan meningkatkan ekonomi riil untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Dengan upaya seperti ini permasalahan ekonomi seperti inflasi, deflasi, devaluasi, resesi, dan sebagainya akan musnah.
Selain itu fokus pemerintah juga harus mengarah pada kesehatan masyarakat dalam mengatasi korona seperti karantina wilayah, pelayanan RS, vaksin dll.
Sehingga masyarakat sehat, bisa menjalankan rutinatas seperti sediakala, bisa bekerja, bersekolah, dan menjalankan kegiatan ekonomi pada akhirnya akan menghasilkan ekonomi yang sehat pula.
Langkah-langkah untuk keluar dari resesi yang telah dijelaskan sebelumnya hanya bisa dilakukan jika negara kita dan juga negara di dunia lainnya tidak menerapkan sistem ekonomi kapitalis yang akrab dengan resesi itu sendiri, namun harus beralih kepada sistem yang mendukung terciptanya langkah-langkah keluar dari resesi yaitu dengan ekonomi islam, ekonomi islam telah terbukti tahan krisis karena memakai standar emas dan perak, meniadakan ekonomi non riil, mengembangkan ekonomi riil, dan islam juga mengajarkan bagaimana mengatasi wabah.
(*/arrahmah.com)