KHARTOUM (Arrahmah.com) – Sudan mengatakan telah menandatangani perjanjian dengan AS yang secara efektif dapat menghentikan klaim kompensasi di masa depan yang diajukan terhadap negara Afrika itu di pengadilan AS, menyusul keputusan Washington untuk menghapus negara itu dari daftar negara sponsor terorisme, lansir Asharq Al-Awsat, kemarin (31/10/2020).
Kesepakatan itu memulihkan di pengadilan AS apa yang dikenal sebagai kekebalan kedaulatan terhadap pemerintah Sudan, dan terjadi setelah setahun negosiasi antara pemerintahan Trump dan kepemimpinan baru Sudan, kata Kementerian Kehakiman Sudan.
Sebuah pemerintahan transisi yang dipimpin oleh campuran tokoh militer dan sipil saat ini memerintah Sudan, setelah penggulingan mantan pemimpin Omar al-Bashir pada April 2019 menyebabkan negara tersebut mencari hubungan yang lebih baik dengan AS.
Menteri Kehakiman Sudan Nasredeen Abdulbari mengatakan bahwa perjanjian tersebut akan memungkinkan Sudan “untuk menyelesaikan kewajiban historis, memulihkan hubungan normal dengan Amerika Serikat, dan bergerak maju menuju demokrasi dan masa ekonomi yang lebih baik.”
Kementerian itu mengatakan kesepakatan yang ditandatangani di Departemen Luar Negeri AS hari Jumat (30/10), dimaksudkan untuk menyelesaikan semua tuntutan hukum terhadap Sudan di pengadilan Amerika, termasuk yang terkait dengan pemboman kedutaan besar AS di Kenya dan Tanzania pada 1998. Kesepakatan itu akan mulai berlaku setelah Kongres AS meloloskan undang-undang yang diperlukan untuk mengimplementasikan kesepakatan tersebut.
Pemerintah transisi Sudan telah setuju untuk membayar $ 335 juta sebagai kompensasi bagi korban serangan yang dilakukan oleh jaringan al-Qaeda ketika Shaikh Usamah bin Laden tinggal di Sudan. Kementerian mengatakan uang itu akan disimpan di rekening penampungan sampai AS menyelesaikan pemulihan kekebalan kedaulatan Sudan.
Departemen Luar Negeri telah memberi tahu Kongres tentang perjanjian tersebut, yang digambarkannya sebagai “kemenangan monumental bagi para korban terorisme”.
Dikatakan kesepakatan itu juga termasuk penyelesaian kompensasi bagi korban pemboman mematikan tahun 2000 di USS Cole di pelabuhan selatan Aden Yaman yang menewaskan 17 marinir, dan untuk pembunuhan John Granville, seorang pejabat Badan Pembangunan Internasional AS, yang tewas dalam penembakan berkendara di ibu kota Sudan, Khartoum pada tahun 2008.
“Penandatanganan … menandai langkah yang sangat penting untuk mencapai keadilan atas tragedi keluarga kami,” kata Edith L. Bartley, juru bicara keluarga Amerika yang tewas dalam serangan di Kenya.
Bartley mendesak Kongres AS untuk “segera” mengesahkan undang-undang yang diperlukan untuk melaksanakan penyelesaian dan mengeluarkan uang.
Penunjukan Sudan oleh AS sebagai negara sponsor terorisme dimulai pada tahun 1990-an, ketika Bashir memerintah Sudan dan pemerintahnya secara singkat diklaim menjadi tuan rumah bagi pemimpin Al Qaeda dan militan lainnya yang dicari. Sudan juga diyakini telah menjadi saluran pipa bagi Iran untuk memasok senjata kepada pejuang Palestina di Jalur Gaza.
Mencabut daftar Sudan dari daftar hitam adalah bagian dari upaya pemerintah AS agar Sudan menormalisasi hubungannya dengan Israel. Sudan telah menjadi negara Arab ketiga – setelah Uni Emirat Arab dan Bahrain – yang menormalisasi hubungan dengan negara Yahudi itu menjelang Hari Pemilu pada 3 November.
Namun, keputusan Presiden Trump pada hari Jumat (30/11) untuk memperpanjang keadaan darurat nasional AS terkait Sudan memicu kebingungan dan kekhawatiran di antara warga Sudan atas kebijakan Amerika.
Kedutaan AS di Khartoum pada hari Sabtu (31/10) berusaha untuk meyakinkan warga Sudan, mengatakan dalam sebuah tweet bahwa keputusan tersebut “sama sekali tidak berdampak pada penghapusan Sudan dari daftar sponsor negara terorisme.” Dikatakan, perpanjangan itu dimaksudkan untuk mempertahankan sanksi PBB terkait konflik Darfur.
Darfur telah dicekam pertumpahan darah sejak 2003, ketika pemberontak mengangkat senjata melawan pemerintah Sudan, menuduhnya salah memerintah wilayah itu. PBB mengatakan 300.000 orang tewas dalam konflik itu dan 2,7 juta orang telah meninggalkan rumah mereka.
Otoritas transisi Sudan telah berjanji untuk mengadakan pemilihan pada tahun 2022. (Althaf/arrahmah.com)