Oleh : Sartinah
Relawan Media, Member AMK
(Arrahmah.com) – PT Pertamina (Persero) sedang menjadi sorotan. Setelah dikritik masyarakat karena mengalami kerugian sebesar Rp11,13 triliun, kini Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di sektor minyak dan gas (migas) tersebut dibuka boroknya oleh Komisaris Utamanya sendiri, yakni Basuki Tjahaja Purnama.
Dalam video yang diunggah akun Youtube POIN seperti dikutip detik.com, Selasa (15/9/2020), Ahok membongkar ‘borok’ Pertamina, mulai dari direksi yang hobi lobi menteri, hingga soal kebiasaan berutang. Pun, terkait komisaris-komisaris yang menurutnya merupakan titipan kementerian.
Dalam video tersebut, Ahok menyebut bahwa Pertamina memiliki kebiasaan mencari pinjaman. Padahal, Pertamina sendiri sudah memiliki utang sebesar US$ 16 miliar. Utang tersebut digunakan untuk mengakuisisi ladang minyak di luar negeri. Menurutnya, lebih baik melakukan eksplorasi di dalam negeri karena Indonesia masih memiliki dua belas cekungan yang masih berpotensi menghasilkan minyak dan gas. (detik.com, 19/9/2020)
Masalah lain yang turut dibuka ‘boroknya’ oleh Ahok di tubuh Pertamina, yakni terkait gaji yang menurutnya sangat aneh. Dimana, direktur utama anak perusahaan tetap digaji meski jabatannya sudah dicopot. Hingga Ahok mengusulkan pembubaran Kementerian BUMN karena dianggap memiliki tata kelola yang buruk dan tidak efisien.
Terkait kritik ahok soal hobi direksi melakukan lobi pada menteri, Menteri BUMN Erick Thohir turut buka suara. Menurutnya, tidak ada direksi yang melobi menteri, karena selama ini direksi-direksi itu hanyalah melakukan pembicaraan biasa dalam rapat dengan menteri.
Lho, kalau saya kan hubungan direksi, komisaris, dengan menteri kan hal yang biasa saya rasa. Kalau dibilang lobi-lobi, semua itu pembicaraan, rapat, bukan lobi. Sesuatu yang biasa,” ungkap Erick di Gedung DPR RI, Jakarta pada Selasa, 22 September 2020. (Pikiran rakyat.com, 23/9/2020)
Demikianlah wajah asli BUMN dalam sistem kapitalisme. Lobi-lobi politik menjadi hal lumrah yang pasti terjadi dalam pemilihan para petinggi di perusahaan pelat merah tersebut. BUMN tak ubahnya korporasi yang mengelola sumber daya alam besar demi kepentingan para kapitalis. Sementara negara berlepas tangan karena BUMN dikelola dengan paradigma kapitalisme neoliberal, sehingga aset BUMN diperjualbelikan dengan sangat murah. Alhasil, siapa pun yang memiliki modal besar maka dia adalah pemilik sesungguhnya.
Aroma kapital neoliberal semakin kental tercium setelah diberlakukannya liberalisasi sektor migas. Hal ini semakin tampak setelah pemerintah dan DPR mengesahkan perubahan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba). Alhasil pengesahan ini semakin memberikan peluang selebar-lebarnya bagi kapital untuk menguasai aset-aset strategis negeri ini.
Keberadaan BUMN hanya untuk menjadi ladang bisnis para kapitalis, bukan untuk melayani kepentingan rakyat. Maka tak heran, meski sumber daya alam melimpah, rakyat tetap saja menikmati BBM dan listrik dengan harga yang mahal. Sehingga kata sejahtera di bawah sistem kapitalisme menjadi sesuatu yang utopis bagi rakyat.
Selayaknya sumber daya alam benar-benar dikelola dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat. Hanya saja, untuk mewujudkan semua itu dibutuhkan paradigma tata kelola yang benar, yakni berdasarkan sistem Islam. Dalam Islam, sumber daya alam wajib dikelola oleh negara untuk kesejahteraan rakyat dan haram diserahkan kepada swasta atau asing. Islam memiliki tata kelola paripurna agar aset-aset milik rakyat benar-benar dinikmati dengan maksimal.
Pertama, dalam syariah Islam, negara diberi amanah untuk mengelola dua aset, yakni harta kepemilikan negara dan harta kepemilikan umum. Kedua aset tersebut akan dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik sejatinya. Tak hanya itu, negara juga berperan sebagai pengurus yang mengurusi seluruh urusan rakyat, bukan sebagai korporasi.
Sabda Rasulullah saw.: “Imam itu adalah penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya). (HR. Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Karena itu, dalam pengelolaan aset-aset tersebut, negara tidak boleh mengambil keuntungan. Sebab, ini adalah amanah dalam sistem wakalah (mengamanahkan kepada seseorang) dalam hal ini adalah negara sebagai pihak yang diamanahkan untuk mengelolanya.
Kedua, syariat Islam telah mengklasifikasikan kategori kepemilikan umum yang menjadi milik rakyat.
Rasulullah saw. bersabda: “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Aset-aset kepemilikan umum tersebut terdiri dari: Pertama, fasilitas umum. Meliputi semua fasilitas yang dibutuhkan oleh publik yang jika hal tersebut tidak ada, maka akan menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan persengketaan. Kedua, barang tambang dalam jumlah yang sangat besar. Aset ini haram dimiliki secara pribadi. Contohnya minyak bumi, gas, emas, perak, tembaga, dan lain-lain. Ketiga, benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki secara pribadi, seperti jalan, sungai, danau, laut, teluk, selat, tanah-tanah umum dan sebagainya.
Aset berupa barang tambang akan dimiliki oleh masyarakat secara tidak langsung. Sebab, dalam pengelolaannya membutuhkan teknologi, tenaga ahli, dan biaya yang besar hingga dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Pengelolaannya hanya wajib dilakukan oleh negara, sedangkan keterlibatan swasta hanya sebagai pekerja dengan akad ijarah atau kontrak.
Hasil dari pengelolaan seluruh aset milik umum tersebut akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembiayaan pendidikan serta kesehatan yang akan diperoleh masyarakat secara berkualitas dan gratis. Alhasil, rakyat akan dapat menikmati pendidikan dan kesehatan dengan maksimal dan kualitas terbaik.
Adapun bentuk Perseroan Terbatas (PT) sebagaimana model BUMN saat ini telah diharamkan karena menyalahi hukum syirkah di dalam Islam. Di sisi lain, bentuk BUMN seperti ini justru memudahkan oligarki masuk di dalamnya. Hal ini tentu sangat ironis. Sebab, ketika BUMN yang merupakan milik negara dikelola dalam bentuk korporasi, maka dalam kondisi mengalami kerugian pun, gaji yang diberikan tetaplah dalam jumlah besar sebagaimana yang terjadi saat ini.
Demikianlah, manusia hanya akan mendapatkan keadilan hakiki bila diatur dalam sistem Islam. Sebab, Islam datang membawa kerahmatan bagi seluruh alam. Sebaliknya, manusia akan dilanda ketidakadilan, kezaliman, jika akal dijadikan sebagai standar untuk mengatur hidup manusia.
Wallahu a’lam bishshawab.
(ameera/arrahmah.com)