WASHINGTON (Arrahmah.com) – Dewan Perwakilan Rakyat AS pada Selasa (22/9/2020) mengesahkan RUU yang akan memblokir segala jenis impor dari Daerah Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR) kecuali jika mereka mampu menunjukkan bukti tidak terkait dengan kerja paksa.
Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur diperkenalkan pada Maret 2020, di tengah semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa kamp-kamp interniran di wilayah tersebut telah beralih fungsi dari indoktrinasi politik ke kerja paksa, dengan banyaknya tahanan yang dikirim untuk bekerja di pabrik kapas dan tekstil.
Pemungutan suara di DPR menunjukkan hasil 406 suara setuju dengan UU tersebut dan hanya 3 suara yang menolak. Hasil tersebut membuat Menteri Luar Negeri AS harus menyatakan bahwa kerja paksa yang diberlakukan kepada Muslim Uighur dan minoritas Muslim lainnya di Cina merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida di bawah hukum AS. Selain itu, hasil tersebut juga membuka jalan untuk dilakukannya pemungutan suara di Senat.
RUU tersebut terbentuk setelah AS melakukan pengawasan yang ketat selama setahun terhadap kamp-kamp interniran milik Cina yang tersebar di XUAR, di mana pihak berwenang diyakini telah menahan 1,8 juta Muslim Uighur dan minoritas Muslim lainnya sejak April 2017.
Dalam RUU tersebut dijelaskan bahwa barang yang dibuat dengan kerja paksa adalah ilegal berdasarkan Undang-Undang Tarif tahun1930, yang mengatur bahwa produk tersebut dapat dikecualikan atau disita, dan dapat dilakukan penyelidikan kriminal terhadap importir.
RUU tersebut akan melarang berbagai barang yang merupakan hasil dari kerja paksa, baik barang dagangan, tulisan, tambang, ataupun barang yang diproduksi seluruhnya atau sebagian di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, Cina.
Barang-barang impor dari XUAR hanya diizinkan jika Komisioner Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS menentukan dengan bukti yang jelas bahwa barang-barang tersebut tidak diproduksi seluruhnya ataupun sebagian oleh narapidana kerja, kerja paksa, atau buruh kontrak di bawah sanksi hukuman.
Organisasi Perjuangan Hak Asasi Uighur (UHRP) menyambut baik pengesahan RUU tersebut dengan mengatakan bahwa ini adalah “undang-undang nasional pertama di seluruh dunia yang menegakkan standar hak asasi manusia untuk mengakhiri impor barang yang dibuat melalui sistem kerja paksa Muslim Uighur”.
“Orang Amerika tidak ingin membeli produk yang dibuat oleh Muslim Uighur yang terkurung dalam sistem kerja paksa Cina,” kata direktur UHRP, Omer Kanat, sebagaimana dilansir RFA.
“Senat juga harus bertindak, dan semua pemerintah harus memberlakukan tindakan untuk melawan kekejaman massal pemerintah Cina, yang dilakukan dalam skala yang tidak terlihat sejak Perang Dunia ke II,” imbuhnya.
Dari Jerman, Presiden Kongres Uighur Dunia, Dolkun Isa menyebut pemungutan suara tersebut sebagai “hari bersejarah bagi rakyat Uighur” dan mendesak agar segera dilakukan tindak lanjut.
“Saya berharap Senat AS segera mengesahkan undang-undang tersebut dan Presiden Donald Trump akan menandatanganinya menjadi Undang-Undang,” ujar Isa kepada koresponden RFA. (rafa/arrahmah.com)