KAIRO (Arrahmah.com) – Sebuah tim pengacara asal Inggris yang bertindak sebagai penasihat hukum keluarga mantan Presiden Mesir Muhammad Mursi mengatakan putra bungsu Presiden Mursi, Abdullah Mursi (25), telah dibunuh setahun yang lalu dengan “zat yang mematikan”.
Pada 4 September 2019, Abdullah Mursi ditemukan tewas di sebuah rumah sakit di Giza, selatan Kairo. Diduga dia meninggal karena menderita serangan jantung.
Abdullah mengalami serangan jantung saat mengemudi mobil bersama seorang teman.
Temannya kemudian membawa Abdullah ke rumah sakit Al-Waha, namun dokter tidak berhasil menyelamatkan nyawanya.
Pemerintah Mesir saat itu membenarkan laporan tersebut.
Hanya saja, pada peringatan setahun kematiannya yang digelar pada hari Ahad (4/9/2020), sebagaimana dikutip dari Middle East Eye (7/9), tim hukum Mursi dari Guernica 37 International Justice Chambers mengumumkan bahwa mereka telah memperoleh informasi yang memberikan petunjuk baru tentang penyebab kematian Abdullah.
Menurut mereka, Abdullah telah disuntik dengan zat yang mematikan.
Toby Cadman, kepala tim hukum Guernica 37, mengatakan kepada Middle East Eye bahwa keadaan seputar kematian Abdullah “misterius”.
“Ada sejumlah pertanyaan yang masih belum terjawab, tetapi informasi yang kami miliki membuat kami percaya bahwa dia dibunuh,” katanya.
Sebelum kematiannya, Abdullah, kata Cadman, hidup dalam ketakutan akan nyawanya setelah secara terbuka menuduh pejabat pemerintah tertentu membunuh ayahnya yang meninggal di ruang sidang pada Juni 2019.
Beberapa hari setelah ayahnya meninggal, Abdullah mengidentifikasi beberapa tokoh, termasuk Menteri Dalam Negeri saat ini Mahmoud Tawfiq, pendahulunya Majdi Abdel Ghaffar dan Mohamed Shereen Fahmy, dan hakim yang mengawasi persidangan Mursi, sebagai “kaki tangan” dalam “pembunuhan Presiden Mursi “.
Mursi terpilih dalam pemilihan presiden demokratis pertama Mesir pada tahun 2012, setelah pemberontakan yang menggulingkan pemimpin lama Hosni Mubarak.
Setahun setelah pemerintahannya, Mursi digulingkan oleh militer Mesir dalam kudeta yang dipimpin oleh menteri pertahanannya sendiri, Abdel FattahAl-Sisi, yang kemudian menjadi presiden hingga kini.
Sejak itu, Sisi telah memulai kampanye besar-besaran untuk menindak pihak yang berbeda pendapat dan menghentikan kebebasan berbicara.
Dia juga melarang Ikhwanul Muslimin serta memasukkannya ke dalam daftar hitam sebagai kelompok teroris. (Hanoum/arrahmah.com)