Oleh: Ustadz Irfan S. Awwas
Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin
(Arrahmah.com) – Logika berfikir Menteri Agama Fahrul Razi, seperti orang tidak beragama. Ia menganggap keshalihan sebagai ancaman terhadap Negara Pancasila, dan masjid sebagai gerbang masuk radikalisme. Anggapan tersebut bukan berdasarkan data dan fakta, melainkan berdasarkan stigma.
Lalu Menteri Agama, yang bukan ahli agama ini, berhalusinasi. Dalam acara webinar bertajuk: “Strategi Menangkal Radikalisme pada Aparat Sipil Negara” yang disiarkan di kanal YouTube Kemenpanrb mengatakan, salah satu strategi kaum radikalisme masuk yaitu melalui seorang anak yang berpenampilan menarik atau good looking.
“Cara masuk mereka gampang, pertama dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan bahasa Arab bagus, hafiz Qur’an, mulai masuk, ikut-ikut jadi imam, lama-lama orang-orang situ bersimpati, diangkat jadi pengurus masjid,” kata Fachrul Razi.
Mengapa Fahrul Razi merasa risau dan negative thinking terhadap pemuda Islam yang shalih, hafidz Qur’an, dan berpenampilan simpatik alias good looking? Mungkinkah atas dasar stigma dan halusinasi ini, Kemenag hendak melakukan sertifikasi Da’i dan pembersihan ustadz radikal di masjid-masjid BUMN?
Sayangnya sang Menag bersikap ambivalen. Menag Fahrul Razi tidak risau dan tidak malu dengan banyaknya orang-orang yang berprilaku bejat serta merajalelanya dekadensi moral, prostitusi, narkoba yang melanda generasi muda Indonesia.
Belum lama ini aparat kepolisian menemukan sejumlah 56 orang melakukan pesta homoseks di sebuah hotel di Jakarta. Menurut Menpan RB, Tjahjo Kumolo, ada tren baru dikalangan ASN, yaitu kebiasaan melakukan poliandri, satu istri dua suami atau lebih.
Apakah Menag Fahrul Razi tidak menganggap penting membersihkan prilaku bejat dan menjijikkan di kalangan ASN ini?
Ironisnya, Menag Fahrul Razi, juga tidak merasa risau adanya ancaman radikalisme anggota DPR, yang ingin mengganti dasar negara Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila, melalui RUU HIP. Padahal rencana jahat ini nyata dan jauh lebih berbahaya dibandingkan stigma good looking.
Kita jadi bertanya-tanya, Menteri agama ini beragama apa? Mengapa dia membenci prilaku beragama yang Islami dengan menudingnya penyebar radikalisme?
Benarlah nubuwah Rasulullah Saw tentang mereka yang menyia-nyiakan amanah.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللّٰهِ قَالَ إِذَا أُسْنِدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ. (رواه البخاري، ٦٠١٥)
Artinya: Dari Abu Hurairah radhilayyahu ‘anhu mengatakan, Rasulullah ﷺ bersabda: “Jika amanat telah disia-siakan, tunggu saja kehancuran terjadi.” Ada seorang sahabat bertanya: “Bagaimana maksud amanat disia-siakan?” Nabi ﷺ menjawab: “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu.” (HR. Bukhari No. 6015)
Orang yang tidak mengerti bagaimana ketentuan Allah dalam mengatur urusannya tidak akan mampu menjalankan amanah dengan benar dan adil. Sebaliknya hanya akan merusak dan membikin gaduh masyarakat.
Apalagi ia memegang jabatan pemerintahan yang bertanggung jawab menjalankan aturan yang mengatur urusan rakyat. Jika dia tidak mengerti hukum syara’, atau tidak mau menjalankan amanahnya dengan menggunakan aturan-aturan Allah SWT. tentu kerusakan demi kerusakan akan datang silih berganti. Sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah ﷺ :
وَمَا لَمْ تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللّٰهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ اللّٰهُ إِلَّا جَعَلَ اللّٰهُ بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ. (رواه ابن ماجه)
“Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka enggan menjalankan hukum-hukum Allah dan mereka memilih-milih apa yang diturunkan Allah, kecuali Allah akan menjadikan bencana di antara mereka.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad hasan).
Tapi mengapa Presiden Jokowi masih mempertahankan orang yang bukan ahlinya sebagai Menteri Agama? Apakah ada agenda anti Islam yang diamanahkan padanya?
Jogjakarta, 6 Sept. 2020
(*/arrahmah.com)