BAMAKO (Arrahmah.com) – Para perwira militer yang menggulingkan presiden Mali dalam kudeta yang menuai kecaman internasional berjanji pada Rabu (19/8/2020) untuk memulihkan stabilitas dan mengawasi transisi ke pemilihan dalam periode yang “masuk akal”.
Presiden Ibrahim Boubacar Keita mengundurkan diri dan membubarkan parlemen pada Selasa malam, beberapa jam setelah para pemimpin kudeta menahannya di bawah todongan senjata, menjerumuskan negara yang sudah menghadapi gerakan bersenjata, serta protes massa oposisi lebih dalam ke dalam krisis.
Kolonel Mayor Ismael Wague, juru bicara pelaku kudeta yang menamakan diri mereka Komite Nasional untuk Penyelamatan Rakyat, mengatakan mereka bertindak untuk mencegah Mali jatuh lebih jauh ke dalam kekacauan.
“Ketegangan sosial dan politik telah merusak berfungsinya negara cukup lama,” kata Wague yang diapit oleh tentara.
“Mali turun ke dalam kekacauan hari demi hari [dengan] anarki dan ketidakamanan karena kesalahan orang-orang yang bertanggung jawab atas takdirnya. Demokrasi sejati tidak pergi dengan berpuas diri, atau kelemahan otoritas negara, yang harus menjamin kebebasan dan keamanan rakyat,” ujarnya seperti dilansir Al Jazeera.
Tidak ada kabar tentang masa depan Keita (75).
Pada Rabu sore, perwira militer Kolonel Assimi Goita mengumumkan dirinya sebagai pemimpin kudeta militer.
“Izinkan saya memperkenalkan diri, saya Kolonel Assimi Goita, Ketua Komite Nasional untuk Penyelamatan Rakyat,” ujarnya seusai pertemuan para pejabat tinggi.
Goita muncul di antara sekelompok pejabat yang terlihat dalam pernyataan yang disiarkan televisi semalam, tetapi tidak berbicara.
Dalam pidatonya, Wague mengatakan semua perjanjian internasional akan tetap dihormati dan pasukan internasional, termasuk misi PBB di Mali dan G5 Sahel, akan tetap di tempat “untuk pemulihan stabilitas”.
Para pemimpin kudeta juga tetap “berkomitmen pada proses Aljir”, sebuah perjanjian damai 2015 antara pemerintah Mali dan kelompok bersenjata di utara negara itu, kata Wague.
Perbatasan ditutup dan jam malam mulai berlaku dari jam 9 malam sampai jam 5 pagi.
Kudeta tersebut dengan cepat dikecam oleh mitra kawasan dan internasional Mali, yang khawatir jatuhnya Keita dapat semakin mengguncang bekas koloni Perancis dan seluruh wilayah Sahel Afrika Barat.
Blok regional Afrika Barat yang beranggotakan 15 negara, Komunitas Ekonomi Negara-negara Afrika Barat, pada hari Selasa menangguhkan Mali dari lembaganya dan menutup perbatasan negara anggotanya dengan Mali.
Setelah sebelumnya memperingatkan bahwa mereka tidak akan lagi mentolerir pengambilalihan militer di wilayah tersebut, blok tersebut berencana untuk mengirim delegasi tingkat tinggi ke Mali untuk memastikan kembalinya demokrasi konstitusional.
Sementara itu, ketua Uni Afrika dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa pada Rabu mengutuk “perubahan inkonstitusional pemerintah” di Mali dan menuntut pembebasan politisi yang ditahan. (haninmazaya/arrahmah.com)