Oleh: Kanti Rahmillah, M.Si
(Arrahmah.com) – Selama pandemi Covid-19 di Indonesia, disebutkan bahwa jumlah wanita hamil bertambah bahkan mencapai sekitar 400.000 kehamilan baru. Fantastisnya jumlah kehamilan baru selama pandemi itu menjadi kekhawatiran akan terjadinya baby booming. (kompas.com 24 Juni 2020)
Menurut Kepala BKKBN dr. Hasto Wardoyo, tingginya angka kehamilan di masa pandemi diakibatkan oleh menurunnya penggunaan alat kontrasepsi.
Dalam satu tahun, ada 4,8-5 juta kehamilan di Indonesia. Jika angkanya bertambah sesuai prediksi yaitu 400.000, itu artinya ada tambahan sebesar delapan persen. Hal tersebut akan menambah beban keluarga dan negara. (liputan6.com 21/05/2020)
Setidaknya ada 3 alasan, mengapa jumlah kelahiran yang tinggi dianggap menambah beban keluarga dan negara:
Pertama, karena kebutuhan pokok bagi keluarga yang memiliki anak satu berbeda dengan yang memiliki anak banyak. Sehingga beban nafkah yang harus ditanggung seorang ayah dengan jumlah anak yang banyak akan semakin berat. Maka dari itu BKKBN sangat menyarankan untuk memiliki keluarga yang terencana dengan target ideal 2 anak saja cukup.
Kedua, Selain agar beban ekonomi keluarga lebih ringan, adanya program tersebut membantu agar para ibu pun bisa ikut berkarir membantu ekonomi keluarga. Ibu tidak melulu disibukan oleh urusan domestik, termasuk pengasuhan anak. Sehingga, pendapatan keluarga semakin besar lantaran ibu ikut membantu ekonomi keluarga. Inilah yang diharapkan dapat melahirkan kesejahteraan dalam setiap keluarga.
Ketiga, Begitupun beban negara akan semakin besar seiring dengan tingginya angka kelahiran. Karena tingginya jumlah penduduk akan menyebabkan lapangan pekerjaan semakin sempit. Dan pada gilirannya akan meningkatkan pengangguran. Sedangkan pengangguran erat kaitannya dengan kemiskinan dan kelaparan. Dan semua ini akan menghantarkan pada tingkat kriminalitas yang tinggi.
Benarkah logika di atas? Lantas bagaimana pandangan Islam?
Anak adalah Aset Dunia dan Akhirat
Pemahaman bahwa anak adalah beban keluarga lahir dari sudut pandang matrealisme. Yaitu sebuah paham yang berorientasi pada materi. Paham ini lahir dari ideologi sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga peran agama hanya dibatasi pada ranah ibadah ritual saja. Sedangkan permasalahan kehidupan, termasuk didalamnya permasalahan keluarga tak ada kaitannya dengan agama.
Berbeda dengan pandangan islam yang menjadikan anak adalah aset bukan beban. Karena Allah telah menjelaskan dalam firmannya bahwa masing-masing anak telah membawa rizkinya. Sehingga ketakutan akan tak bisa membiayai anak tak akan ada pada diri seorang muslim.
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. Al An’am [6]: 151)
Bahkan Rasulullah Saw. menganjurkan untuk memiliki keturunan yang banyak. Karena semakin banyak keturunan kaum muslim berarti semakin banyak pengikut Rasulullah Saw. Sehingga beliau dapat berbangga dengan banyaknya jumlah pengikut pada hari kiamat kepada nabi-nabi yang lain dan umatnya.
“Nikahilah oleh kalian wanita yang pencinta dan subur, karena aku akan berbangga dengan banyaknya kalian kepada umat-umat yang lain.” (HR Abu Dawud)
Islam memandang anak bukanlah sebuah beban tapi asset yang harus dijaga. Anak adalah asset akhirat buat kedua orang tuanya. Karena jika orang tuanya mendidiknya dengan serius. Menjadikannya insan yang solih solihah, maka doa anak akan terus mengalir walaupun kedua orang tuanya sudah meninggal.
“Jika seorang anak Adam mati, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang berdoa untuknya.” (HR Muslim)
Selain aset akhirat, maka anak pun merupakan aset keluarga dan bangsa. Jika anak dididik dengan benar. Lalu memahami hakikat dari pada tujuan penciptaan manusia yaitu semata untuk beribadah kepada Allah Swt. juga memiliki pemahaman bahwa sebaik-baik manusia adalah dia yang bermanfaat bagi sesama. Dan memahami bahwa Allah Swt. akan meninggikan derajat manusia yang berilmu. Maka anak akan termotivasi untuk menjadi manusia berilmu dan dengan ilmunya akan membawa kebermanfaatan pada umat manusia.
Dari sanalah akan tercipta generasi unggul dan bertanggung jawab. Saat masih kecil dia akan berusaha untuk tidak merepotkan orang tua dengan menuntut banyak hal. Setelah dewasa dia akan giat bekerja dan beramal sesuai syariat untuk membantu kehidupan keluarga. Bukankah ini adalah aset keluarga?
Belum lagi kita berbicara aset bangsa. Tentu, tongkat estafet kepemimpinan ada ditangan generasi.
Masa depan bangsa ditentukan dari kualitas generasinya. Jika generasinya terbius oleh kenikmatan dunia, tak memahami hakekat kehidupan. Tak mempunyai semangat untuk menjadi manusia bermanfaat. Malah mewarnainya dengan seabrek kenakalan remaja, freesex, aborsi, narkoba, kecanduan game online, pacaran. Akhirnya julukan “sampah bangsa” lebih cocok disematkan pada mereka daripada “asset bangsa”. Tunggulah kehancuran peradaban manusia.
Ummun wa Robatul Baiti
Perempuan berdaya dalam sistem Kapitalisme adalah ketika dia mampu menghasilkan materi sebanyak-banyaknya. Keluar rumah berlomba dengan kaum laki-laki untuk mengais rizki demi ekonomi keluarga. Bahkan perempuan digadang-gadang menjadi penyelamat ekonomi negara. Lantas bagimana nasib anak-anak mereka?
Suasana keluarga mirip dengan terminal. Hanya tempat singgah sebentar anggota keluarga. Ayah dan ibu sibuk bekerja, sedangkan urusan rumah disubkontrakan pada pembantu. Tak ada kehangatan dalam rumah tangga. Sesampainya dirumah, ayah dan ibu tak punya tenaga untuk membangun keharmonisan rumah tangga. Akhirnya komunikasi yang tidak baik akan menyebabkan keretakan rumah tangga.
Maka dari itu, islam telah mengajarkan peran seorang istri bukanlah mencari nafkah. Jika pun ingin membantu ekonomi keluarga, karena sifatnya “membantu” itu artinya bukan yang utama. Tetaplah urusan domestik yang utama.
Seorang istri telah Allah Swt. tetapkan tugas utamanya adalah Ummun wa robatul Baiti. Yaitu sebagai Ibu dan manager rumah tangga. Sebagai ibu, dia harus bisa mengurusi anak-anaknya. Membimbing mereka menuju insan kamil yang dicintai Allah Swt dan umat manusia.
Selanjutnya, ibu pun mempunyai peran sebagai manager rumah tangga. Sebuah rumah harus dibangun berlandaskan iman dan kasih sayang seorang ibu. Dari sanalah akan terlahir jiwa-jiwa yang penuh kehangatan. Selain itu, ibu pun harus bisa mengatur keuangan dan segala hal tentang pengurusan keluarga. Bagaimana agar tercukupi seluruh kebutuhan keluarga, baik gizi setiap anggota, pakaian layak dan rasa tentram, semua tak boleh luput dari pantauan sang ibu.
Maka menyuruh para ibu keluar untuk membantu ekonomi keluarga adalah kesalahan besar. Karena bisa jadi inilah awal malapetaka yang datang pada sebuah keluarga. Karena islam memandang bahwa perempuan berdaya adalah ketika dia mampu mengelola rumah tangganya menjadi baiti janati. Rumah yang menghantarkan seisinya menuju surga.
Oleh karena itu, anak bukanlah beban keluarga dan bangsa. Jika keluarga mampu mendidik anak-anaknya dan negara mampu melindungi masyarakatnya dari segala aspek, justru anak akan menjadi aset keluarga dan bangsa. Dan pada gilirannya akan mampu membangun peradaban mulia.
(*/arrahmah.com)