ANKARA (Arrahmah.com) – Turki mengecam Perancis karena mengikuti pendekatan destruktif di Libya dan menuduh Paris berupaya meningkatkan kehadiran Rusia di negara itu.
“Meskipun kami [Turki] tampaknya berseberangan dengan Rusia, kami berusaha untuk tidak memperburuk situasi, tetapi untuk mencapai gencatan senjata,” Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu mengatakan dalam konferensi pers, Rabu (1/7/2020).
Cavusoglu menanggapi pernyataan sebelumnya dari Presiden Prancis Emmanuel Macron pada hari Senin (29/6) menuduh Turki memiliki “tanggung jawab pidana” atas keterlibatannya dalam konflik Libya.
Macron mengatakan Turki “secara besar-besaran” memindahkan tentara bayaran “teroris” dari Suriah ke Libya.
Sang menlu mengindikasikan bahwa Macron sadar serangannya terhadap Turki tidak akan menguntungkan kebijakan dalam negerinya, berharap presiden Perancis mendapat pelajaran bahwa sikap tersebut tidak akan membantunya.
“Perancis, yang diperintah Macron atau lebih tepatnya tidak bisa ia kelola untuk memerintah saat ini, telah berada di Libya hanya untuk kepentingan dan ambisinya sendiri dengan pendekatan destruktif,” kata Cavusoglu memperingatkan.
“NATO melihat Rusia sebagai ancaman, tetapi sekutu NATO Perancis berusaha meningkatkan kehadiran Rusia di Libya,” tambah Cavusoglu.
Ini adalah pertama kalinya kepala diplomasi Turki menyebut kehadiran Rusia sebagai “ancaman”, yang mencerminkan perbedaan yang mengakar antara Ankara dan Moskow.
Perbedaan antara kedua negara juga terlihat ketika Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan Menteri Pertahanan Sergey Shoygu membatalkan kunjungan mereka ke Turki yang dijadwalkan 14 Juni untuk membahas masalah-masalah Libya.
Turki dan Rusia berkoordinasi di Suriah meskipun mereka tidak setuju dengan dukungan Ankara untuk faksi-faksi oposisi bersenjata, dan dukungan Moskow untuk Bashar al-Assad sebagai ‘presiden sah’ Suriah.
Namun, kedua negara belum dapat mencapai penyelesaian serupa di Libya, di mana Rusia mendukung Tentara Nasional Libya (LNA), dipimpin oleh Khalifa Haftar, dan Turki mendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA), yang diketuai oleh Fayez al-Sarraj.
Meskipun Perancis belum mengumumkan posisi yang jelas tentang LNA, Turki terus mencercanya.
Terlepas dari posisi NATO terhadap Rusia, Turki membuat kesepakatan dengan Moskow mengenai rudal S-400, yang membuat marah AS dan NATO. (Althaf/arrahmah.com)