(Arrahmah.com) – Aksi demontrasi menolak 500 TKA Cina berlangsung ricuh. Massa pun bentrok dengan aparat kepolisian di pintu masuk Bandara Haluole Kendari, Sulawesi Tenggara, sekitar pukul 23.10 Wita, Selasa (23/6). Sebanyak 156 TKA Cina telah mendarat menggunakan maskapai Lion Air pukul 20.30 Wita. Mereka terbang dari Ghuangzou Cina lalu ke Malaysia.
Selanjutnya rombongan TKA Cina ini tiba di Bandar Udara Sam Ratulangi Manado dan melanjutkan ke Bandara Haluoleo. Kedatangan 500 TKA Cina ke Kabupaten Konawe direncanakan sebanyak tiga gelombang. Pada gelombang pertama sebanyak 156 orang. Gelombang kedua dan ketiga rencananya tiba pada akhir bulan ini.
Alasan diizinkannya TKA Cina lantaran kedatangan mereka sebagai tenaga ahli yang memiliki visa kerja. Bukan visa kunjungan. Kedutaan Besar Cina untuk Indonesia memastikan tenaga kerja asal Cina telah menjalani tes virus corona. Wang Liping, Kedubes Cina untuk Indonesia menegaskan jika TKA Cina masuk, pembangunan proyek lancar dan berjalan normal, barulah para pekerja Indonesia bisa bekerja.
Seperti diketahui, masuknya 500 TKA asal Cina menuai protes warga. Namun, protes itu rupanya tak digubris. Pemerintah tetap mempersilakan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia. Padahal, pekerja lokal justru mengalami nasib miris selama masa pandemi. Banyak yang dirumahkan dan menjadi pengangguran.
Kebijakan ini menambah bukti ketidakberpihakan pemerintah pada nasib pekerja pribumi. Lebih mengutamakan tenaga kerja asing dibanding rakyat sendiri. Miris. Saat 1,79 juta pekerja terkena PHK, pemerintah malah membuka akses TKA masuk ke Indonesia. Masih banyak para pencari kerja yang antri untuk mendapat pekerjaan. Namun, dengan mudahnya pemerintah mendatangkan TKA. Akibat kebijakan yang memberi kemudahan perizinan ketenagakerjaan.
Kalaulah alasan TKA itu masuk karena keahlian, apa pekerja pribumi tak cukup memadai? 1,79 juta pekerja itu pasti diantara mereka mumpuni untuk dipekerjakan. Kalaulah alasan pemerintah datangkan TKA karena pekerja lokal belum memenuhi persyaratan, bukankah itu PR bagi pemerintah? Menyiapkan SDM yang memiliki keahlian dan kompetensi mumpuni adalah kewajiban negara atas rakyat. Kalau hal ini gagal dipenuhi, maka sama halnya negara sedang mengonfimasi ketidakmampuannya mencetak SDM berkualitas.
Sistem pendidikan ala kapitalis hanya mencetak pekerja sesuai keinginan pasar. Bukan mencetak generasi yang memiliki kompetensi dan daya saing tinggi. Pada akhirnya, Indonesia menyerap buruh atau karyawan saja. Pemegang kendali ekonomi ya tetap para kapitalis.
Serbuan TKA Cina adalah konsekuensi logis kerjasama internasional. Liberalisasi ekonomi menjadi tumpuannya. Atas dasar itulah, Indonesia tak berdaya menolak pasar bebas. Termasuk tenaga kerja asing. Liberalisasi ini juga berimbas pada kebijakan ekonomi. Investasi asing kian gencar. Kerjasama regional digalakkan. Korporasi besar menancamkan kekuasaannya atas nama kerjasama dan investasi.
Alhasil, banyaknya perusahaan asing tak berdampak luas pada penyerapan tenaga kerja lokal. Mereka justru lebih senang memanfaatkan TKA dibanding pekerja lokal. Thomas Lembong, mantan Kepala BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), pernah mengatakan TKA adalah komponen penting dari investasi.
Menurut data BKPM, satu investasi menciptakan satu TKA berbanding sembilan tenaga kerja lokal. Jika demikiam, wajar saja bila TKA berdatangan ke Indonesia. Alasannya sama. TKA punya skil, pekerja lokal tidak. Rakyat diminta tidak anti TKA.
Protes warga terhadap TKA Cina bukan sekadar karena takut sebaran corona. Mereka khawatir serbuan TKA itu menggeser lapangan kerja bagi pekerja lokal. Tanpa TKA saja para pekerja lokal begitu sulit mendapatlan pekerjaan. Apalagi ditambah kehadiran TKA. Bukankah ini sama halnya memaksa pekerja lokal bersaing dengan TKA? Lantas, apa yang sudah dilakukan negara untuk meningkatkan skill para pekerja lokal?
Sebelum pemerintah meminta masyarakat menerima TKA, semestinya pemerintah berkaca dulu. Sejauh ini, sudahkah menunaikan janji membuka 10 juta lapangan kerja untuk anak negeri? Kok malah mengundang TKA? Sudahkah pemerintah menuntaskan kewajibannya dalam mencetak SDM berkualitas? Bagaimana SDMnya berkualitas, sekolahnya saja mahal dan tidak gratis. Bagaimana mau cerdas sementara fasilitas pendidikan tak terjangkau semua kalangan.
Tunaikan kewajiban pemerintah kepada rakyat terlebih dulu. Sebelum bicara persaingan antar tenaga kerja. Fungsi negara bukan hanya regulator kebijakan. Namun, fungsi negara adalah memenuhi kebutuhan dasar rakyat dari ekonomi hingga pendidikan.
Memasukkan TKA di tengah gelombang PHK yang masif sangat tidak etis. Sebagai pihak yang diberi mandat mengelola negara, semestinya keberpihakan itu untuk warga negara bukan asing. Inilah akibat bila paradigma kapitalisme mengakar kuat. Sampai hal sensitif pun pemerintah tidak peka.
Sungguh terlalu. Pelayan rakyat tapi melayani kepentingan konglomerat. Pengurus rakyat tapi mengurusi kepentingan kapital. Sudahi saja sistem ini. Lebih baik ganti dengan yang lebih pro rakyat. Apa itu? Kelola negara dengan syariat. InsyaAllah selamat dunia akhirat.
Oleh: Chusnatul Jannah – Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban
(ameera/arrahmah.com)