SUKABUMI (Arrahmah.com) – Banyaknya universitas yang membuka fakultas kedokteran dan banyaknya sarjana kedokteran ternyata tidak membuat Indonesia tercukupi akan kebutuhan tenaga dokter, Pasalnya banyak dokter yang ‘menganggur’ karena tidak memiliki sertifikat Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI).
Ketua Komisi IX DPR RI, komisi yang membidangi kesehatan. Ribka TJiptaning mengungkapkan bahwa saat ini Indonesia masih kekurangan banyak tenaga dokter, dari minimal 70 ribu orang yang dibutuhkan, baru tersedia 40 ribu orang dokter saja.
Dengan jumlah yang ada sekarang, perbandingan antara populasi dengan jumlah dokter di Indonesia adalah 1:3.400, ini berarti satu orang dokter menangani 3.400 penduduk. Dalam kondisi demikian bagaimana pelayanan kesehatan masyarakat bisa terjamin? Akibatnya banyak masyarakat khususnya masyarakat kecil tidak bisa mendapatkan pelayanan dokter.
Ribka mengungkapkan sekitar 15 ribu calon dokter di Indonesia tidak bisa praktik karena terkendala masalah ujian kompetensi dokter Indonesia (UKDI). Banyak lulusan fakultas kedokteran dari berbagai universitas tidak bisa bekerja atau praktik lantaran tidak memiliki sertifikat UKDI.
“Ini yang menjadi masalah, sangat disayangkan mereka yang sudah menimba ilmu untuk menjadi dokter terhalang oleh UKDI, jadi banyak diantara mereka yang tidak bisa bekerja sebelum lulus UKDI,” katanya.
Jika dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika Serikat dan Kuba, perbandingan antara dokter dan masyarakat tidak terlalu jauh sehingga seluruh masyarakat bisa terlayani oleh dokter.
Ribka menyayangkan sikap pemerintah yang terkesan mempersulit izin dokter, karena menurutnya bisa dipastikan mereka yang lulus kedokteran minimalnya sudah bisa mendiagnosa penyakit.
“Masa calon dokter yang baru lulus kuliah tidak bisa mengimfus atau memeriksa pasien, mereka akan terbiasa jika sering praktik, bukan mengurusi masalah UKDI saja agar bisa praktik,” papar Ribka.
Sementara itu, saat ini di Pulau Jawa hanya 40 persen Puskesmas yang sudah memiliki dokter, sedangkan di luar Pulau Jawa bisa dipastikan jumlahnya akan lebih rendah. Dengan minimnya jumlah dokter bisa menyebabkan sebagian dokter pragmatis dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Hal ini terkait, membludaknya jumlah pasien akan membuat dokter memilih pasien yang berduit saja karena terlalu jenuh. “Rata-rata saat ini hanya 1-2 dokter saja yang bertugas di satu Puskesmas,” tambah Ribka.
Terkait hal tersebut Ribka mengatakan bahwa pihaknya akan terus membenahi masalah kesehatan di Indonesia mulai dari pelayanan sampai fasilitas kesehatan.
Sayangnya Ribka tidak menyoroti tentang mahalnya biaya pendidikan, khususnya di bidang kedokteran, yang mungkin juga menjadi kendala dalam pengadaan tenaga dokter terampil di Indonesia. Apalagi dengan biaya yang sangat besar itu bisa jadi membentuk pola pikir dokter yang hanya cari uang, sehingga ia hanya akan mau melayani pasien dengan kemampuan membayar, sementara pasien dari rakyat kecil hanya akan berakhir di pintu depan rumah sakit.
Seperti yang serring terjadi di rumah sakit di Indonesia, berapa banyak keluarga kecil yang harus terusir dan ‘rela’ tidak mendapatkan perawatan karena keterbatasan biaya, berapa banyak bayi yang terpaksa harus ditinggalkan di rumah sakit karena orang tuanya tak mampu membayar persalinan.
Pada dasarnya profesi dokter yang seharusnya mulia karena ‘mengabdikan diri untuk masyarakat’ menjadi tercoreng karena sistem komersialisasi kesehatan. (ans/rasularasy/arrahmah.com)