Oleh: Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Direktur HRS Center
(Arrahmah.com) – Revolusi Syiah Iran tahun 1979 termasuk revolusi yang spektakuler. Dengan keterlibatan para mullah (ulama Syi’ah) gerakan revolusioner tersebut telah mampu menumbangkan Dinasti Pahlevi yang berkuasa di Iran semenjak tahun 1925. Berdirinya revolusi itu menandai kebangkitan Syi’ah, yang dahulunya lebih menekankan pada aspek quetisme (pasif secara politik) kini hadir dalam bentuk yang progresif dalam bentuk ideologi yang revolusioner.
Di Indonesia, pengaruh Revolusi Syiah Iran telah memprovokasi para penganut ajaran Syi’ah untuk melakukan gerakan perlawanan kepada pemerintah. Gerakan perlawanan yang dilakukan menunjuk pada tindakan makar dan terorisme. Mereka membentuk kelompok bernama Ikhwanul Muslimin. Gerakan ini tidak ada hubungannya dengan Ikhwanul Muslimin di Mesir, hanya nama saja yang sama. Ada dua tujuan organisasi ini. Pertama, pengkaderan melalui pesantren kilat dan majelis taklim. Kedua, mengorbankan revolusi di Indonesia. Untuk mencapai tujuan kedua, Ikhwanul Muslimin membentuk struktur organisasi revolusi yang diberi nama “Koordinator Komando”. Koordinator Komando ini terbagi menjadi lima divisi, yaitu divisi intelejen, penculikan dan pembunuhan, mobilisasi massa, dana logistik dan pembebasan tahanan politik.
Gerakan Ikhwanul Muslimin ini memanfaatkan peristiwa tragedi berdarah Tanjung Priok tanggal 12 September 1984 dan isu Kristenisasi. Kemudian menghasilkan kesepakatan untuk melakukan aksi balas dendam, dengan cara melakukan peledakan-peledakan bom di berbagai tempat atau diistilahkan oleh Husein Al Habsyi dengan sebutan “irama tom-tom”. Tokoh utama Ikhwanul Muslimin adalah Ibrahim Jawad, Husein Al-Habsyi, dan Lutfi Ali. Dalam rapat pembahasan makar, salah satu tema sentral yang digagas adalah pilihan perjuangan dengan mencontoh Revolusi Iran. Terungkap adanya empat tahapan dalam melaksanakan perjuangan tersebut. Pertama, mobilisasi massa. Kedua, imamah atau pengangkatan imam. Ketiga, referendum syariat Islam. Keempat, proklamasi Negara Islam.
Ditambahkan juga bahwa Tim Ikhwanul Muslimin di Jakarta akan melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap Presiden Soeharto, Ibu Tien Soeharto, dan Jenderal Benny Moerdani. Tujuannya agar terjadi kekosongan kekuasaan. Aksi ini akan dilakukan berbarengan dengan mobilisasi massa yang akan dilakukan oleh Pasisa (Pasukan Siap Syahid). Setelah terjadi kevakuman, maka akan diadakan pengangkatan Imam. Husein Al-Habsyi mengusulkan Imam Khomeini. Setelah pengangkatan itulah akan dilakukan referendum yang dilanjutkan dengan penegakan pemerintahan Islam. Berikut di bawah ini adalah aksi tindakan terorisme dan makar yang dilakukan:
- Aksi tanggal 24 Desember1984 (Pengeboman Gereja)
Menjelang Natal tahun 1984, Ibrahim Jawad, Husein Al Habsyi, Achmad Muladawillah dan Abdulkadir Al Habsyi mengadakan rapat pengeboman yang akan segera dilakukan pada tanggal 24 Desember 1984. Mereka menyebut aksi ini “Pesta Natal”. Gereja dipilih sebagai wujud pembalasan dendam atas kekejaman tentara Kristen membantai kaum Muslim di Tanjung Priok. Aksi dilakukan menjelang tengah malam, dengan meledakkan kompleks Seminari Al Kitab Asia Tenggara dan Kompleks Gereja Kepasturan Katolik. - Aksi tanggal 21 Januari 1985 (Pengeboman Candi Borobudur)
Proyek teror oleh Ibrahim Jawad dan Husein Al Habsyi selanjutnya diarahkan dengan meledakkan Candi Borobudur. Alasannya, Borobudur merupakan lambang pemujaan dan berhala. Sebenarnya ada alasan lain yang bersifat politis, yaitu sebagai peringatan kepada Soeharto, dan keluarganya, karena Candi Borobudur akan dibisniskan oleh Titiek Soeharto yang sudah mendapat persetujuan dari Menteri Parpostel. Rencana peledakan Borobudur menggunakan kata sandi “Camping”. Pengeboman ini membuat heboh Indonesia maupun dunia internasional. Candi Borobudur ini belum setahun selesai dipugar, dimana sebagian besar dana pemugaran ini dikucurkan dari UNESCO, duapuluh delapan negara asing dan delapan badan swasta internasional. Pada tanggal 23 Januari 1985, Presiden Soeharto menuding pelaku peledakan adalah orang-orang yang didorong oleh fanatisme suatu golongan yang tidak mempunyai kebanggaan nasional. - Aksi Februari 1985 (Rencana Pengeboman di Bali)
Keberhasilan aksi peledakan Candi Borobudur yang diprakarsai oleh Ibrahim Jawad dan Husein Al Habsyi, membuat mereka makin bersemangat untuk menabuh kembali “irama tom-tom”. Target baru mereka bukan lagi Gereja atau Candi, melainkan tempat wisata di Bali. Alasan penetapan tempat wisata di Bali menjadi target operasi mereka, karena Bali dianggap sebagai sumber kemaksiatan. Aksi ini juga direncanakan sebagai peringatan kepada para turis-turis asing untuk tidak mengumbar kemaksiatan. Pilihan untuk memberikan “peringatan” kepada turis asing melalui aksi pengeboman ini, tidak bisa dilepaskan dari sikap antipati Husein Al Habsyi dan Ibrahim Jawad terhadap orang asing. Sikap anti-barat ini merupakan pengaruh dari pemikiran politik Khomeini yang anti-barat dan anti-Israel. Pemikiran-pemikiran politik anti-barat ini sering mereka baca dari majalah Yaum Al Quds. Untuk proyek Bom Bali ini mereka menggunakan kata sandi, “Belajar Bahasa Arab”. Husein Al Habsyi menyiapkan sebuah tim kecil yang kemudian diberikan pelatihan perakitan bom oleh Ibrahim Jawad. Setelah selesai memberikan pelatihan perakitan bom, pada tanggal 7 Februari 1985, Ibrahim Jawad bersama anak dan isterinya berangkat ke Iran.
Bom yang telah disiapkan diberangkatkan menuju Bali dengan menggunakan bus Pemudi Express jurusan Malang-Bali. Ketika bus memasuki Kampung Curah Puser, Desa Sumber Kencono, Banyuwangi, bom tersebut keburu meledak. Ledakan ini menewaskan tujuh penumpang, termasuk anggota tim Bom Bali, yaitu Abdul Hakim, Supriyono, dan Gozali Hasan. Sementara Abdulkadir Al Habsyi selamat, namun malam itu juga berhasil ditangkap aparat Kepolisian. Sementara itu, dua orang otak aksi peledakan Husein Al Habsyi dan Ibrahim Jawad telah menghilang. Baru beberapa tahun setelah para pelaku diadili, Husein Al Habsyi ditangkap di Garut pada tahun 1990.
Sementara Ibrahim Jawad tidak pernah tertangkap dan hingga kini tidak diketahui keberadaannya.
Terhadap para pelaku makar, Korem 083/Baladhika Jaya telah melakukan penangkapan terhadap pelaku peledakan Gereja di Malang, peledakan Candi Borobudur dan peledakan Bus Pemudi Ekspres di Banyuwangi. Istilah yang digunakan oleh Korem 083/Baladhika Jaya pada waktu itu adalah “Penumpasan Komando Jihad.” Penamaan operasi “Penumpasan Komando Jihad” oleh Korem 083/Baladhika Jaya menunjukkan bahwa operasi itu bukan hanya bersifat penangkapan atas pelaku kriminal belaka, namun terkait dengan keutuhan dan kedaulatan negara. Dikatakan demikian, oleh karena sasaran peledakan sangat identik dengan simbol-simbol agama di luar agama Islam dan bermakna sebagai perjuangan perlawanan terhadap pemerintah yang dituduh telah melakukan kerjasama dengan kaum di luar Islam.
Tuduhan terhadap Presiden Soeharto dalam keterlibatan proyek “Kristenisasi” yang kemudian dikaitkan dengan “Peristiwa Berdarah Tanjung Priok” mengindikasikan gerakan tersebut memang sengaja diinginkan untuk menentang pemerintah. Perjuangan perlawanan itu sejatinya sangat terkait dengan kebangkitan Syi’ah pasca Revolusi Iran. Pada saat Khomeini menjadi Imam bagi kaum Syi’ah, isu perlawanan terhadap penindasan kaum mustakhbirin (kaum tertindas) semakin membentuk karakter penganut Syi’ah. Terlebih lagi pernyataan Khomeini untuk mengekspor Revolusi Iran ke seluruh penjuru dunia. Dapat dikatakan bahwa berbagai aksi peledakan bom itu sebenarnya lebih ditujukan untuk membangun doktrin Revolusi Iran yang menjadi cikal bakal penyebaran Syi’ah di Indonesia.
Revolusi Iran dan ekspansinya sebagaimana telah terjadi di berbagai negara termasuk di Indonesia menandakan bahwa Khomeini sangat berkeinginan untuk menjadikan Iran sebagai pusat kekuatan Syi’ah di dunia. Penyematan nama “Pemimpin Revolusi” sampai dengan sekarang masih tetap dilekatkan pada Waly al-Faqih kedua yakni Ali Khamenei. Apabila ditinjau dengan pendekatan gerakan perjuangan, maka gerakan tersebut sangat terkait dengan ambisi Iran untuk membangun geostrateginya guna mewujudkan ambisinya untuk menjadi pusat kekuatan Syi’ah di seluruh dunia. Dengan demikian, ajaran Syiah dan negara Iran merupakan satu rangkaian kesatuan. Penulis menggunakan term “Syi’ah Iran” sebagai pengganti istilah (penamaan) Syi’ah Imamiyyah-Jafariyah-Itsna Asyariyah.
Alasannya, bahwa kesemua sekte Syi’ah pasca Revolusi Iran sudah menjadi satu kesatuan yang utuh dan permanen melalui kelembagaan Wilayat al-Faqih. Sentralisasi kekuasaan berada di tangan Waly al-Faqih sebagaimana disebutkan dalam konstitusi Republik Iran. Syi’ah Iran tidak mungkin bisa adaptasi dengan ke-Bhineka-an dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), karena mereka punya konsep dan cita-cita politik yang ekstrem menurut versi mereka. Syi’ah Iran dengan ideologi imamahnya merupakan ancaman ancaman nir-militer yang mengancam eksistensi NKRI.
Peringatan ancaman penyebaran ajaran Syi’ah diutarakan oleh Grand Syeikh Al-Azhar Ahmad At-Thayyib, dikatakan bahwa penyebaran ajaran Syi’ah di negeri-negeri Sunni akan merongrong persatuan dunia Islam, mengancam stabilitas negara, memecah belah umat dan membuka peluang kepada Zionisme untuk menimbulkan isu-isu perselisihan madzhab di negara-negara Islam. Dalam buku panduan MUI Pusat “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Ajaran Syi’ah di Indonesia”, disebutkan adanya indikasi menjadikan “Negara Syi’ah” di Indonesia. Cita-cita dan tujuan Revolusi Iran termanifestasikan dalam berbagai gerakan Syi’ah di Indonesia.
Tulisan ini diambil dari penelitian disertasi penulis yang berjudul “Membangun Politik Hukum Sistem Ketahanan Nasional Terhadap Ancaman Ekspansi Ideologi Transnasional Syi’ah Iran.” Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
(haninmazaya/arrahmah.com)