(Arrahmah.com) – Khalifah Umayyah, Marwan II, sibuk memadamkan pemberontakan dan pergolakan di berbagai daerah. Namun ia luput dengan apa yang terjadi di Timur. Khususnya wilayah Khurasan yang menjadi markas revolusi Bani Abbasiyah. Pemberontakan menyebar di berbagai daerah. Secara umum, Bani Abbasiyah lah penyulut api pemberontakan itu. Awalnya pemberontakan dilakukan dengan provokasi-provokasi kontra pemerintah. Sampai akhirnya, mereka merasa telah datang waktunya untuk melakukan perlawanan terang-terangan.
Revolusi ini mendapat dukungan dari Ibrahim al-Imam. Seorang yang tinggal di al-Hamimah. Dukungan ini menjadi angin segar bagi Bani Abbasiyah. Perlawanan nyata pun bisa diwujudkan. Mereka mengangkat Abu Muslim al-Khurasani sebagai pimpinan pemberontakan. Ia dibai’at dengan syi’ar: “Untuk ridha dari keluarga Muhammad”. Perlu diketahui bahwasanya Bani Abbasiyah termasuk ahlul bait Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wali Daulah Ummayyah di Khurasan, Nashr bin Yasar, mencium aroma kuat pemberontakan yang dipimpin oleh Abu Muslim itu. Ia segera mengirim surat ke Damaskus (ibu kota Bani Umayyah). Menjelaskan kekacauan yang terjadi di Khurasan. Kian hari, kian bertambah ancaman Abu Muslim. Nashr berharap bantuan dari Khalifah segera datang.
Sayangnya, Khalifah Marwan II tidak mampu memenuhi permintaan Nashr. Ia bahkan tak mampu melakukan apapun. Kecuali menawarkan perjanjian ditambah dengan nasihat-nasihat. Marwan menawarkan kepada Abu Muslim kekuasaan penuh terhadap Khurasan. Sadar tak mendapat bantuan, Nashr bin Yasar dan orang-orang Arab yang bersamanya lari ke Naisabur.
Orang-orang Abbasiyah yang ada di Irak, dipimpin oleh Qahthabah bin Syabib ath-Tha-i segera menysul Nashr. Mereka berhasil mengalahkan pasukan pemerintah itu. Nashr terus berlari. Selanjutnya ia berpindah ke Kota Ray. Orang-orang Abbasiyah terus memburunya. Hingga akhirnya ia wafat di Kota Ray pada tahun 131 H.
Keberhasilan mengalahkan Nashr membuat Qahthabah semakin percaya diri. Ia berangkat menuju Irak. Menghadapi kekuatan Daulah Umayyah di sana yang dipimpin Ibnu Hubairah. Qahthabah pun kembali menggapai kemenangan. Setelah itu ia beranjak menuju Kufah. Namun Sungai Eufrat menghentikan aksinya. Ia tenggelam saat melintasi sungai tersebut.
Orang-orang Abbasiyah terus memobilisasi aksi mereka. Pada bulan Rabiul Awal tahun 132 H, pasukan yang dipimpin Hamid bin Qahthabah memasuki Madinah. Setelah tiba di sana, Hamid menyerahkan kepemimpinan kepada Abi Salamah al-Khilal. Ia telah membaiat Abdullah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas yang lebih dikenal dengan Abul Abbas (khalifah pertama Abbasiyah) di Irak.
Dari Irak, Abul Abbas mengirim pasukan yang dipimpin oleh sepupunya, Abdullah bin Ali. Pasukan ini berjumpa dengan pasukan Marwan di Sungai Zab (anak sungai Tigris). Orang-orang Abbasiyah berhasil memenangkan perang penting ini. Moral mereka naik. Sementara Umayyah di ambang keruntuhan. Bahkan sebagian sejarawan menganggap Abbasiyah telah berhasil merebut kekuasaan Umayyah melalui perang ini. Walaupun mereka belum memasuki Damaskus.
Akhirnya, orang-orang Abbasiyah berhasil memasuki Damaskus pada tanggal 14 Ramadhan 132 H. Setelah kurang lebih dua bulan mengepung ibu kota tersebut. Runtuhlah Daulah Umayyah.
(fath/kisahmuslim/arrahmah.com)