Oleh : Abdullah Al Jirani
(Arrahmah.com) – Para ulama berbeda pendapat tentang masalah boleh tidaknya mengeluarkan zakat fitrah berupa uang menjadi dua pendapat :
Menurut Jumhur ulama, yaitu Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, zakat fitrah harus dikeluarkan berupa makanan pokok di suatu negeri (di Indonesia secara umum berupa beras), dan tidak sah dikeluarkan berupa uang (nilainya).
Mereka berdalil, bahwa Rasulullah ﷺ telah menentukan bahwa zakat fitrah dikeluarkan dari jenis tertentu, yaitu makanan pokok. Pada asalnya, pendapat ini merupakan pendapat yang kuat. Kami pribadi mengikuti pendapat ini.
Adapun menurut Hanafiyyah, dibolehkan zakat fitrah dikeluarkan berupa uang. Mereka beralasan, bahwa maksud syari’at zakat fitrah itu adalah memberi kecukupan kepada fakir miskin. Dan hal ini bisa terjadi dengan makanan ataupun uang.
Bahkan masih menurut mereka, pengeluarkan zakat fitrah dengan uang lebih fleksibel dan praktis karena bisa menyesuaikan kebutuhan orang-orang yang menerimanya.
Pendapat ini juga dipilih oleh sekelompok ulama Salaf, seperti Al-hasan Al-Bashri, Abu Ishaq As-Sabi’i, Umar bin Abdul Aziz dan sebagian ulama Malikiyyah.
Terlepas dari persilihan pendapat di atas, menurut hemat kami, pada kondisi wabah Corona seperti sekarang ini, pendapat Hanafiyyah lebih ashlah (kemaslahatannya lebih besar) untuk diamalkan, karena saat ini, sangat banyak kaum muslimin yang terdampak wabah Corona dari sisi ekonomi.
Mereka tidak hanya membutuhkan beras, tapi membutuhkan sesuatu yang lainnya. Butuh bayar kontrakan, lauk pauk, berobat, bayar cicilan hutang, modal usaha (karena terkena PHK), dan yang lainnya.
Ketika zakat fitrah dikeluarkan berwujud uang, maka akan mudah untuk dialokasikan kepada kebutuhan-kebutuhan tersebut. Selain itu, penyalurannya juga lebih mudah dan murah. Ingat ! Ada suatu kaidah di dalam agama kita yang menyebutkan, bahwa agama ini dibangun di atas asas “Memperbanyak kemasalahatan dan meminimalisir kemudharatan.”
Imam Syihabud Din Ar-Ramli (w.957 H) walaupun merupakan salah satu ulama dari Madzhab Syafi’i, namun beliau juga membolehkan untuk bertaqlid kepada Imam Abu Hanifah dalam masalah ini dalam kondisi – kondisi tertentu. Beliau menyatakan :
وَأَمَّا الثَّانِيَةُ فَيَجُوزُ فِيهَا لِلْمَرْءِ الْمَذْكُورِ تَقْلِيدُ الْإِمَامِ أَبِي حَنِيفَةَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – فِي إخْرَاجِ بَدَلِ الزَّكَاةِ دَرَاهِمَ
“Adapun pertanyaan kedua, maka boleh bagi seorang yang tersebut di dalamnya untuk bertaqlid kepada imam Abu Hanifah dalam hal mengeluarkan dirham sebagai ganti dari mengeluarkan zakat (dengan makanan pokok).” [Fatawa Ar-Ramli : 2/55 – 56]
Sebagai penutup, ada baiknya di sini kami ingatkan, bahwa masalah ini termasuk masalah khilafiyyah (yang diperselisihkan ulama). Sehingga kita harus saling berlapang dada dan menghormati terhadap orang lain yang mungkin berbeda pendapat dengan kita. Tidak boleh bagi kita untuk mengingkari jika ada yang mengamalkan pendapat Imam Abu Hanifah. Karena beliau adalah seorang ulama ahli ijtihad yang diakui keilmuannya di dunia Islam. Darul Ifta’ Al-Mishriyyah menyatakan :
من المقرر شرعا أنه إنما ينكر المتفق عليه ولا ينكر المختلف فيه. وما دام هناك من الفقهاء من أجاز إخراج زكاة الفطر نقودا, فلا يجوز تفريق الأمة بسبب تلك المسائل الخلافية
“Termasuk perkara yang ditetapkan dalam syari’at, sesungguhnya yang boleh untuk diingkari hanyalah masalah yang telah disepakati. Dan tidak boleh untuk mengingkari dalam perkara yang masih diperselisihkan di sisi ulama. Selama di sana ada ahli fiqh yang membolehkan untuk mengeluarkan zakat fitrah dengan uang, dan ahli fiqh itu termasuk dari orang-orang yang diperhitungkan serta dibolehkan untuk diikuti, maka tidak boleh untuk mencerai-beraikan umat dengan sebab masalah khilafiyyah tersebut.”
Wallahu a’lam
(*/arrahmah.com)