JAKARTA (Arrahmah.com) – Kecepatan persebaran Virus Corona diduga memiliki keterkaitan dengan kondisi iklim suatu negara. Ada anggapan bahwa pola seasonal Virus Corona baru bisa jadi serupa dengan infeksi influensa dan SARS. Kedua kasus tersebut turun drastis pada Mei ketika suhu cuaca di China menghangat.
Pada negara-negara dengan suhu serupa China dan AS, musim flu biasanya mulai Desember dan mencapai puncaknya pada Januari atau Februari dan menurun setelahnya. SARS berakhir pada 2003 ketika musim panas utara muncul.
Banyak penelitian terhadap Virus Corona yang menyebabkan pilek bisa bertahan 30 kali lebih lama pada daerah dengan suhu 6 derajat Celsius dibandingkan dengan wilayah dengan suhu 20 derajat Celsius dan tingkat kelembaban tinggi.
Sebuah studi yang belum lama ini dilakukan oleh Profesor Malik Peiris dan Profesor Seto Wing Hong dari Hong Kong University menunjukkan bahwa suhu dingin dan kelembapan yang relatif rendah memungkinkan Virus SARS bertahan lebih lama dibandingkan di daerah dengan temperatur dan kelembapan tinggi.
Ahli mikrobiologi RS Universitas Indonesia Fera Ibrahim mengatakan, sinar ultraviolet B (UVB) dapat menonaktifkan virus, termasuk Virus Corona. Paparan sinar ultaviolet B terhadap Virus Corona yang berada di ruang terbuka membuatnya tidak aktif.
“Ya, saya rasa Virus Corona lebih terkonsentrasi mampu bertahan hidup pada cuaca atau udara yang lebih dingin dan lembap,” kata ahli mikrobiologi RS Universitas Indonesia Fera Ibrahim dalam diskusi tentang Virus Corona di RS UI, lansir Liputan6.
Fera mengungkapkan, sinar ultraviolet bisa membuat sel virus tidak aktif.
“Saya rasa itu yang membantu kita terhindar (virus corona). Mudah-mudahan sih kita terhindar terus dan tidak ada yang terkonfirmasi terinfeksi virus,” lanjutnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Umum Pokja Infeksi Pengurus Pusat (PP) Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Erlina Burhan. Ia mengatakan, Virus Corona tidak menular hanya lewat udara dan tidak aktif saat berhadapan dengan sinar ultraviolet dari matahari.
“Saya sudah sampaikan, virus ini menjadi tidak aktif kalau ada sinar ultraviolet dari matahari,” ungkap Erlina di Cikini, Jakarta.
Dalam sebuah temu media, Erlina mengemukakan bahwa kemungkinan, ada pengaruh suhu di Indonesia terhadap berkembangbiaknya Virus Corona.
“Virus ini berkembang biak pada suhu yang dingin dengan kelembapan yang rendah. Kalau Indonesia dingin atau enggak? Indonesia enggak ya. Kelembapannya rendah atau tinggi, tinggi ya, 80 persen lah. Ini bukan tempat yang baik untuk virus berkembang biak,” kata Erlina.
Walaupun begitu, bukan berarti Indonesia benar-benar bebas dari ancaman virus. Mereka tetap bisa hidup di Indonesia.
Sehingga, lanjut Erlina, risiko tetap ada dan masyarakat tetap harus melakukan pencegahan penyakit. Beberapa cara mencegah penyakit yang disarankan adalah rutin mencuci tangan dan menggunakan masker.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Anung Sugihantono juga sempat menekankan bahwa sampai saat ini belum ada bukti ilmiah terkait Virus Corona yang menjadi tidak aktif di iklim tropis.
“Apakah bertahan di daerah tropis tidak ada yang bisa jawab. Sepanjang publikasi yang ada, Virus Corona tidak kuat di atas 60 derajat Celsius dan di bawah nol derajat Celsius,” kata Anung di Gedung Kementerian Kesehatan, Jakarta, Senin (3/2/2020).
Menurut kepustakaan saat ini, lanjut Anung, Virus Corona akan berada pada suhu optimal antara dua sampai delapan derajat Celcius.
Oleh sebab itu, lanjutnya, observasi terhadap warga negara Indonesia (WNI) dari Wuhan di Kepulauan Natuna, Riau, selama 14 hari dinilai cukup guna melihat apakah ada gejala Virus Corona atau tidak.
(ameera/arrahmah.com)