WASHINGTON (Arrahmah.com) – Seluruh anggota aliansi Atlantik berdiri di belakang Amerika Serikat di Timur Tengah setelah pihaknya memberi pengarahan kepada NATO mengenai serangan pesawat tak berawak yang menewaskan komandan militer Iran Qassem Soleimani, ujar Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg, Senin (6/1/2020).
Berbicara setelah pertemuan NATO tentang Iran dan Irak di mana Amerika Serikat memberi tahu sekutu-sekutunya tentang serangan pesawat tak berawak Jumat lalu, Stoltenberg juga menyerukan pengurangan ketegangan, menggemakan pernyataan beberapa pemimpin Eropa, lansir Al Jazeera.
“Kami bersatu dalam mengutuk dukungan Iran terhadap berbagai kelompok teroris yang berbeda,” kata Stoltenberg. “Pada pertemuan hari ini, aliansi menyerukan pengekangan dan de-eskalasi. Konflik baru tidak akan menjadi kepentingan siapa pun. Jadi, Iran harus menahan diri dari kekerasan dan provokasi lebih lanjut.”
Meskipun kemarahan tahun lalu di antara anggota aliansi atas strategi AS di Timur Tengah di bawah Presiden Donald Trump, dua diplomat yang hadir mengonfirmasi bahwa pertemuan dua jam di markas NATO berjalan lancar.
Mereka mengatakan bahwa tidak ada utusan yang menantang para pejabat Departemen Luar Negeri dan Departemen Pertahanan AS, yang memberikan pengarahan melalui konferensi video, mengenai manfaat serangan drone hari Jumat yang menewaskan Soleimani.
Juga tidak ada diskusi atau kritik terhadap daftar target Trump, jika Iran membalas dengan serangan terhadap aset Amerika atau AS, kata para diplomat.
Pertemuan itu, yang berlangsung saat Iran menggelar hari duka nasional bagi Soleimani, berpusat pada keputusan NATO untuk menunda misi pelatihannya di Irak, setelah resolusi parlemen Irak yang meminta pasukan asing untuk pergi.
Sementara ada kekhawatiran bahwa pembunuhan orang terkuat kedua Iran dapat memicu perang di Timur Tengah, Perancis, Jerman dan lainnya mengatakan mereka ingin misi Irak berlanjut.
“Itu akan mengirimkan sinyal yang salah jika kita menarik diri,” kata seorang diplomat NATO.
Misi NATO di Irak, terdiri dari beberapa ratus pelatih, penasihat dan staf pendukung dari kedua negara yang beranggotakan 29 negara dan negara-negara mitra non-NATO, termasuk personil militer dan sipil.
Didirikan di Baghdad pada Oktober 2018 setelah tiga tahun berperang melawan pejuang ISIS, misi tersebut adalah misi “melatih dan memberi nasihat” non-tempur untuk membantu struktur dan institusi keamanan Irak menangkal pemberontakan di masa depan. Personelnya tidak ditugaskan bersama pasukan Irak selama operasi.
“Masih belum jelas apa yang akan terjadi dengan misi NATO di Irak,” kata Natacha Butler dari Al Jazeera, yang melaporkan dari Brussels.
Pasukan NATO menunda operasi pelatihan karena alasan keamanan pada Sabtu, di mana anggota parlemen Irak telah meminta pasukan asing untuk meninggalkan negara itu. (haninmazaya/arrahmah.com)