BEIJING (Arrahmah.com) – Cina akan menulis ulang Bible dan Al-Quran agar sesuai dengan ‘nilai-nilai sosialis’ di tengah tindakan keras terhadap kelompok-kelompok agama di negara tersebut, ungkap sebuah laporan.
Bible dan Al-Quran edisi baru tidak boleh mengandung konten apa pun yang bertentangan dengan kepercayaan Partai Komunis, menurut seorang pejabat tinggi partai. Kalimat atau paragraf dalam Bible atau pun Al-Quran yang dianggap tidak sesuai saat proses sensor akan diubah atau diterjemahkan ulang.
Meskipun Bible dan Al-Quran tidak disebutkan secara khusus, namun partai itu menyerukan ‘evaluasi komprehensif agama yang ada dengan tujuan mengubah konten yang tidak sesuai dengan kemajuan zaman’.
Perintah itu diberikan pada bulan November dalam sebuah pertemuan yang diadakan oleh Komite Urusan Etnis dan Agama dan Komite Nasional Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Cina, yang mengawasi masalah etnis dan agama di Tiongkok.
Sebanyak 16 pakar, yang terdiri dari perwakilan tiap agama dari Komite Sentral Partai Komunis Cina menghadiri konferensi bulan lalu, ungkap Kantor Berita Xinhua.
Pertemuan tersebut diawasi oleh Wang Yang, Ketua Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Cina.
Wang menekankan bahwa otoritas agama harus mengikuti instruksi Presiden Xi dan menafsirkan ideologi agama yang berbeda sesuai dengan ‘nilai-nilai inti Sosialisme’ dan ‘persyaratan era’, tulis surat kabar Prancis Le Figaro pada Senin (24/12/2019).
Dia mendesak para pejabat untuk membangun ‘sistem keagamaan dengan karakteristik Cina’.
Para pejabat setuju dengan arahan Wang, menambahkan bahwa misi mereka adalah ‘pilihan sejarah’.
Mereka juga mengklaim bahwa dengan ‘mengevaluasi kembali’ buku-buku agama, mereka akan mencegah ‘pemikiran ekstrem’ dan ‘ide-ide sesat’ mengikis negara.
Pertemuan November berlangsung ketika Cina menghadapi kritik global atas kebijakan agamanya.
Dokumen rahasia milik Cina yang bocor telah menunjukkan bagaimana pemerintah Cina menjalankan sistem pusat pendidikan ulang untuk mengindoktrinasi masyarakat Muslim di provinsi Xinjiang.
Dokumen-dokumen itu, yang mencakup pedoman untuk mengoperasikan pusat-pusat penahanan dan instruksi bagaimana menggunakan teknologi untuk mengintai seseorang, mengungkapkan bahwa kamp-kamp di Xinjiang bukan untuk pelatihan kerja sukarela, seperti yang diklaim Beijing.
Para pakar dan aktivis PBB mengklaim bahwa setidaknya satu juta etnis Uighur dan Muslim lainnya ditahan di pusat-pusat penahanan di wilayah tersebut.
Mantan tahanan mengklaim bahwa Muslim dipaksa makan daging babi dan berbicara bahasa Mandarin di kamp-kamp interniran itu.
Setelah awalnya menyangkal keberadaan mereka, Cina mengakui bahwa mereka telah membuka ‘pusat pendidikan kejuruan’ di Xinjiang yang bertujuan mencegah ekstremisme dengan mengajarkan bahasa Mandarin dan keterampilan kerja.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan pada bulan November bahwa dokumen yang bocor membuktikan bahwa otoritas Cina terlibat dalam penindasan masif dan sistemik terhadap Muslim dan minoritas lainnya, sebagaimana dilansir Dailymail.
Kementerian luar negeri Cina tetap menolak tuduhan tersebut. Pada Senin (23/12) melalui juru bicara Geng Shuang, pemerintah Tiongkok menuduh beberapa media ‘mencoreng upaya kontra-terorisme dan anti-ekstrimisme Cina di Xinjiang’.
Kedutaan besar Cina di London membantah ada dokumen semacam itu, iamengatakan kepada Guardian bahwa hal tersebut adalah ‘fabrikasi murni dan berita palsu’. (rafa/arrahmah.com)