SURABAYA (Arrahmah.com) – Undang-undang Pesantren (UUP) sudah disahkan. UU ini mengatur penyetaraan pesantren dengan pendidikan umum. Namun, beberapa pasal dalam UU Pesantren masih menuai kontroversi. Bahkan, tidak sedikit insan pesantren (kiai) yang mengaku miris dengan regulasi tersebut.
“Terus terang, di tengah gegap gempita, sorak sorai kegirangan menyambut UU pesantren, saya justru miris. Saya khawatir pada saatnya, pesantren kehilangan jati dirinya. Pesantren selama ini mandiri dan merdeka,” demikian disampaikan salah seorang profesor, pakar pendidikan dari kalangan NU yang mengajar di perguruan tinggi negeri (PTN) di Yogyakarta kepada duta.co beberapa waktu lalu.
Tokoh NU ini masih enggan disebut namanya, lantaran, mayoritas kiai menerima UUP dengan senang hati. Padahal, jelasnya, jika dicermati, maka, independensi pesantren terancam. Ini dimulai dengan masuknya dana.
“Kita hanya berpikir sesaat, berpikir dana bantuan, tanpa berpikir bahwa ruh pesantren itu adalah kemandirian, berani melawan segala bentuk pejajahan,” tegasnya.
Hal senada juga disampaikan Pakar pendidikan dari ITS Surabaya, Prof Daniel M Rosyid Menurut Prof Daniel, lahirnya UUP hanya akan membuat dunia pesantren gelap gulita.
“Pesantren kita mau disekolahkan. Sementara sekolahan kita mendidik anak untuk menjadi pekerja atau buruh yang terampil dan taat. Ini kepentingan investor, bukan mencerdaskan bangsa,” demikian Prof Daniel dalam Diskusi Tokoh: Refleksi Kepemimpinan dan Meneropong Arah Kebijakan, di Gedung Astranawa, Ahad (3/11/2019).
Selain Daniel M Rosyid, Guru Besar Teknologi Kelautan ITS, hadir dalam diskusi ini, Muslim Arbi (Pengamat Sosial Politik), Prof Suteki (Pakar hukum) Edy Mulyadi (Direktur Center For Ekonomic and Democracy Studies – CEDES), dan H Malik (Komunitas Nahdliyin).
Menurut Prof Daniel, bangsa ini sudah dilumpuhkan secara pelan-pelan. Diawali dengan pelumpuhan UUD 1945 yang asli. Isi UUD 1945 adalah perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, tetapi, faktanya sudah diamandemen. Muncullah UUD hasil amandemen dan mengarah kepada sekulerisasi.
“Sekarang semakin jelas. Peran Masjid dan keluarga dilumpuhkan. Semua fungsi dialihkan ke sekolah. Sekolahnya membentuk anak-anak kita menjadi buruh terampil dan taat. Ini sasarannya. Jadi, jauh dari upaya mencerdaskan bangsa. Semua ini untuk menjawab kepentingan investor,” tegasnya.
Tidak Sekolah Tidak Apa-apa
Beberapa hari lalu, jelas Daniel, dirinya juga bertemu dengan Mendikbud Nadiem Makarim. “Saya diskusi dengannya. Dan jelas, orientasinya kualitas kerja, kompetensi daya saing untuk investor. Bukan mutu yang relevansinya dengan manusia-manusia merdeka. Padahal, mestinya, isi dari pendidikan itu, la tusyrik billah. Bukan mengabdi kepada investor,” tuturnya.
Daniel juga mengaku prihatin melihat semakin punahnya petani-petani kita. Begitu juga makin jauhnya bangsa ini dengan kekayaan laut.
“Kita saksikan, pertanian kita semakin habis. Tidak ada anak-anak yang tertarik. Begitu juga, anak-anak kita, dijauhkan dengan laut. Padahal, 70% kekayaan ada di laut. Sekarang ini, dari 100 kampus, hanya 1 yang bicara soal laut,” urainya.
Menurut pakar pendidikan ini, ada sekularisasi pendidikan di Indonesia. Dan ini berbahaya untuk umat beragama (Islam). Ironisnya lagi, pesantren pun mau disekolahkan. Kiai-kiai menerima dengan senang hati. Ini kabar buruk yang harus diantisipasi.
Lalu apa solusinya? “Solusinya kurangi ketergantungan pada sekolah. Perkuat masjid, keluarga sebagai learning center. Tidak sekolah tidak apa-apa, yang peting belajar,” tegas pakar pendidikan ini, lansir Duta.co.
(ameera/arrahmah.com)