JAKARTA (Arrahmah.com) – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berencana untuk mengganti sistem penyusunan penganggaran secara elektronik (e-budgeting) warisan gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Anies mengungkapkan, sistem tersebut menjadi penyebab munculnya ajuan janggal dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2020.
Menurut Anies, sistem tersebut bukan teknologi terbaik dalam penyusunan APBD karena kelemahan teknis, di mana Satuan kerja Perangkat Daerah (SKPD) DKI mau tak mau harus mengisi semua komponen penganggaran secara spesifik meski belum ada pembahasan dengan DPRD. Keterbatasan teknis itu menjadi penyebab banyaknya usulan anggaran janggal dalam RAPBD 2020.
“Setiap tahun, staf itu banyak yang memasukkan, (misalnya) yang penting, masuk angka (ajuan anggaran). Toh nanti yang penting dibahas,” ujar dia di Jakarta, Rabu, (20/10/2019), lansir VIVA.
Selain itu, tidak adanya fitur verifikasi secara otomatis membuat kesempatan anggaran yang belum dicek ulang menjadi benar-benar dianggarkan di APBD.
Dia menambahkan, kesalahan manusia saat menginput anggaran bisa berdampak pada ditetapkannya anggaran keliru dalam APBD.
Karena itu, dia akan meninggalkan sistem e-budgeting tersebut. Alasannya, dia tak mau gubernur setelahnya akan mengalami nasib serupa seperti dia saat ini, di mana usulan janggal muncul dalam RAPBD 2020, seperti anggaran pengadaan lem aibon atau bolpoin yang nilainya fantastis.
Dia mengaku akan secepatnya mengembangkan sistem penganggaran cerdas yang lebih efektif mencegah ajuan janggal. Nantinya, sistem itu akan otomatis mendeteksi ajuan janggal, sehingga tidak perlu lagi verifikasi manual yang memungkinkan lolosnya ajuan yang salah.
Anies menjelaskan, sistem yang digunakan dalam proses penganggaran harusnya bisa langsung memverifikasi atau mendeteksi anggaran yang janggal. Dengan algoritma tertentu, Anies yakin sistem tersebut bisa tercipta.
“Begitu ada masalah langsung nyala. Red light. Begitu ada angka yang tidak masuk akal, langsung muncul warning. Kan bisa tahu,” ujarnya.
“Ini tinggal dibuat algoritma aja, ‘if’ item-nya itu jenisnya Aibon, harganya Rp 82 miliar, sebenarnya harganya kan enggak semahal itu. Harganya Rp 20 ribu, Rp 30 ribu, terus totalnya mencapai puluhan miliar, pasti ada salah. Harusnya ditolak itu sama sistem,” terang Anies.
(ameera/arrahmah.com)