TUNIS (Arrahmah.com) – Perdana Menteri Tunisia, Youssef Chahed, pada Jumat (5/7/2019) melarang siapa pun yang mengenakan niqab untuk memasuki lembaga-lembaga publik dan kantor-kantor pemerintah, dengan alasan keamanan.
Setelah revolusi Tunisia 2011, yang memulai Musim Semi Arab, sebuah partai politik Islam berkuasa, dan Tunisia terbagi atas penggunaan niqab di ruang publik. Ada debat publik yang luas tentang hak-hak perempuan dan kebebasan beragama.
Namun sejak sejumlah serangan yang dilabeli terorisme dan upaya terkonsentrasi untuk melawannya membuat pemerintah Tunisia mengeluarkan kebijakan pelarangan niqab tersebut dengan dalih kebutuhan untuk mengidentifikasi wajah dengan jelas demi keamanan.
Larangan Tunisia ini “tidak terlalu mengejutkan,” menurut Amel Grami, seorang profesor di Universitas Manouba yang mengklaim dirinya mendalami Islam.
“Masyarakat sadar akan perlunya keamanan,” katanya.
Dengan keputusan itu, Tunisia bergabung dengan semakin banyak negara, termasuk negara tetangga, Aljazair dan Maroko, untuk memberlakukan pembatasan penggunaan niqab atas nama keamanan.
Larangan itu muncul seminggu setelah dua pembom bunuh diri menyerang pasukan keamanan, menewaskan dua orang – seorang polisi dan seorang warga sipil.
Kemudian, ketika polisi memojokkan pria yang telah mengoordinasikan dua pemboman bunuh diri itu, beberapa orang yang menyaksikan pemburuan itu mengatakan bahwa dia mengenakan niqab – sebuah rumor yang kemudian dibantah oleh juru bicara Kementerian Dalam Negeri, Sofiene Zaag , berbicara kepada Tunis Afrique Press, agen pers nasional.
Pada 2014, Kementerian Dalam Negeri mengumumkan tentang seorang buronan yang mengenakan niqab untuk melarikan diri dari polisi dan mulai melakukan pemeriksaan keamanan terhadap siapapun yang mengenakan penutup wajah.
Ini bukan pertama kalinya pakaian relijius dilarang di Tunisia. Di bawah pemerintahan panjang Presiden Zine El Abidine Ben Ali, khimar/kerudung, dilarang di kantor-kantor publik. Mereka diizinkan kembali setelah penggulingannya oleh revolusi pada tahun 2011.
Tunisia menjadikan memerangi ‘terorisme’ sebagai prioritas setelah serangan di Bardo National Museum pada 2015, yang menewaskan 22 orang, dan serangan di sebuah resor pantai di Sousse pada tahun yang sama, yang menewaskan 38 orang, kebanyakan dari mereka adalah para wisatawan. (Althaf/arrahmah.com)