XINJIANG (Arrahmah.com) – Menteri Urusan Islam Malaysia mendapat kecaman tajam setelah menggambarkan sebuah kamp interniran Uighur yang ia kunjungi di China sebagai “pusat pelatihan dan kejuruan,” sementara kelompok-kelompok hak asasi manusia dan pejabat AS menyamakan kamp tersebut dengan kamp konsentrasi.
Kontroversi dimulai ketika Menteri Mujahid Yusof Rawa melakukan perjalanan selama delapan hari di Cina.
Pada tanggal 26 Juni ia memposting foto di laman Facebook resminya yang menunjukkan orang dewasa duduk di meja sekolah berwarna kuning di sebuah ruangan yang dikelilingi oleh bunga buatan.
Menteri pada Selasa (2/7/2019) menolak untuk mengungkapkan apakah lokasi tersebut merupakan kamp yang menampung anggota minoritas Muslim Uighur atau menjawab pertanyaan lain tentang perjalanannya ke Cina dari BenarNews, sebuah layanan berita online yang berafiliasi dengan RFA.
“Pusat ini menjalankan kegiatan pelatihan industri dengan berbagai keterampilan seperti menjahit, administrasi, seni, merangkai bunga, dan lain-lain,” tulisnya untuk menerangkan salah satu foto yang diunggahnya, menambahkan Mujahid telah mengunjungi “pusat pelatihan dan kejuruan komunitas Uighur. ”
Postingan tersebut tidak mengatakan apakah “pusat pelatihan” itu berada di wilayah Xinjiang, di mana para pejabat dan kelompok HAM AS mengatakan bahwa hingga 1,5 juta warga Uighur dan minoritas Muslim Turkistan lainnya telah ditahan di kamp-kamp penahanan sejak April 2017.
Otoritas Tiongkok sebelumnya membantah keberadaan kamp interniran. Mereka berdalih bahwa itu adalah “pusat pelatihan kerja” yang disiapkan bagi pelaku tindak kriminal.
Pada tanggal 27 Juni, Amnest Internasional Malaysia menyatakan kekecewaannya atas deskripsi menteri Mujahid tentang kamp tersebut.
“Amnesti Internasional Malaysia telah mengetahui secara langsung bahwa pihak berwenang Cina menahan Muslim Uighur dan Muslim Turkistan lainnya – di luar proses hukum apa pun – di kamp ‘re-edukasi politik’ karena dianggap tidak loyal kepada pemerintah dan Partai Komunis Tiongkok,” kata pernyataan itu.
“Pihak berwenang menyebut kamp-kamp tersebut sebagai pusat untuk ‘transformasi melalui pendidikan’ tetapi kebanyakan orang menyebutnya hanya sebagai ‘kamp re-edukasi’,” ungkap Amnesti.
Di kamp-kamp itu, orang-orang Uighur menjadi sasaran indoktrinasi politik secara paksa, penyangkalan keyakinan mereka, perlakuan buruk, dan dalam beberapa kasus, penyiksaan, kata kelompok pengawas hak asasi manusia. (rafa/arrahmah.com)