MALI (Arrahmah.com) – Setidaknya 23 orang tewas dan 300 hilang setelah serangan pada Ahad (30/6/2019) di sebuah desa penggembala Fulani di Mali tengah di mana kekerasan komunal telah melonjak dalam beberapa bulan terakhir, menurut pernyataan walikota setempat, seperti dilansir Al Jazeera (1/7).
Dua komunitas Fulani lain menjadi sasaran pada Ahad malam di tengah serangkaian serangan mematikan antara penggembala Fulani dan petani etnis Dogon yang telah lama memperebutkan tanah dan sumber daya tetapi persaingan tahun ini telah dipicu oleh meningkatnya kehadiran kelompok-kelompok bersenjata.
“Selama hari Minggu, dan semalam, di desa Bidi, Sankoro dan Saran, orang-orang bersenjata menyerang warga sipil, menewaskan 23 di antara mereka,” Cheick Harouna Sankare, walikota kota tetangga Ouenkoro, mengatakan kepada kantor berita AFP.
“Situasinya serius, tentara perlu bertindak untuk meyakinkan penduduk,” katanya, seraya menambahkan bahwa pertemuan darurat telah diadakan.
Pemerintah Presiden Ibrahim Boubacar Keita telah berjanji akan melucuti senjata milisi tetapi ia mengalami kesulitan untuk melakukannya.
Kekerasan antara komunitas meningkat tahun ini. Pada bulan Maret, tersangka anggota milisi Dogon telah membunuh lebih dari 150 Muslim Fulani di Mali tengah, salah satu aksi pertumpahan darah terburuk dalam sejarah negara tersebut. Serangan di desa Dogon pada Juni menewaskan lebih dari 40 orang.
Ketidakstabilan semakin didorong oleh kehadiran kelompok-kelompok bersenjata, yang menggunakan Mali utara dan tengah sebagai tempat peluncuran untuk melancarkan serangan di seluruh Sahel.
Di tempat lain di Mali tengah, 12 warga sipil termasuk seorang bayi tewas pada Ahad (30/6) ketika kendaraan yang mereka tumpangi menabrak ranjau darat.
Walikota setempat Issiaka Ganame mengatakan tidak ada penumpang yang selamat. Tidak jelas siapa yang menanam bom, tetapi kelompok-kelompok bersenjata diketahui menyebarkan persenjataan semacam ini di wilayah tersebut. (haninmazaya/arrahmah.com)