KHARTOUM (Arrahmah.com) – Dewan militer yang berkuasa di Sudan, untuk pertama kalinya, mengakui pihaknya memerintahkan pembubaran aksi duduk di ibu kota Khartoum, yang menewaskan banyak orang, ketika para diplomat dari Amerika Serikat dan negara-negara Afrika meningkatkan upaya untuk solusi bagi krisis politik negara itu.
Dewan Militer Transisi (TMC) “memutuskan untuk membubarkan aksi duduk”, kata juru bicara Shams Al-Din Kabashi, Kamis (13/6/2019) seperti dilansir Al Jazeera (14/6).
Para pengunjuk rasa telah melakukan aksi duduk selama berminggu-minggu di luar markas tentara di Khartoum setelah penggulingan pemimpin lama Omar Al-Bashir pada bulan April.
Para demonstran pro-demokrasi melanjutkan agitasi mereka, menuntut agar TMC, yang mengambil alih kekuasaan dari Al-Bashir, menyerahkan kekuasaan kepada badan transisi yang dipimpin warga sipil.
Pada 3 Juni, beberapa hari setelah pembicaraan antara para pemimpin protes dan militer runtuh, orang-orang bersenjata yang mengenakan seragam militer membubarkan kamp itu dalam sebuah operasi yang menewaskan 120 orang, menurut para dokter, yang juga mengatakan sedikitnya 40 mayat ditemukan dari Sungai Nil.
Kementerian kesehatan telah menetapkan jumlah korban jiwa secara pada hari itu sebanyak 61.
“Kami memerintahkan para komandan untuk membuat rencana untuk membubarkan aksi duduk ini. Mereka membuat rencana dan mengimplementasikannya, tapi kami menyesal bahwa beberapa kesalahan terjadi,” kata juru bicara TMC, Kabashi, Kamis (13/6).
Kabashi juga menyalahkan demonstran atas gagalnya negosiasi antara militer dan kelompok-kelompok protes.
“Apa yang menunda negosiasi adalah pemahaman yang salah dari pemerintah yang dipimpin warga sipil. Dalam pandangan saya, warga sipil adalah pihak berwenang, yang berkuasa, tugas yang kami sepakati. Setelah kami sepakat bahwa para menteri dan dewan legislatif akan menjadi pimpinan sipil, mereka masih berteriak warga sipil, warga sipil,” katanya.
“Kami percaya mayoritas [dewan yang berdaulat] haruslah orang-orang militer dan kepemimpinan harusnya adalah militer. Mereka [kelompok-kelompok protes] meyakini sebaliknya. Kami bersikeras bahwa militer adalah penjamin untuk perdamaian dan stabilitas dalam fase transisi.”
Pada akhir konferensi, Kabashi mengatakan bahwa rencananya adalah untuk membersihkan daerah terdekat yang disebut Kolombia, biasanya dihuni oleh penjual obat bius, tetapi kemudian “kami menyesali apa yang terjadi”.
Dia mengatakan temuan investigasi atas insiden itu akan dirilis pada Sabtu (15/6). (haninmazaya/arrahmah.com)