RAKHINE (Arrahmah.com) – Militer Myanmar, telah melakukan pelanggaran HAM besar-besaran terhadap minoritas Muslim Rohingya, melakukan kejahatan perang dan kekejaman lainnya saat terlibat dalam operasi militer baru di Negara Bagian Rakhine barat, kata sebuah kelompok HAM yang bermarkas di London, Rabu (29/5/2019).
Amnesti Internasional mengatakan dalam sebuah laporan baru bertajuk “Tidak ada yang bisa melindungi kami: Kejahatan perang dan pelanggaran di Negara Bagian Rakhine Myanmar”, bahwa mereka memiliki bukti baru bahwa militer Myanmar kini “melakukan kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya” terhadap etnis minoritas di Rakhine, pembunuhan di luar hukum, penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan dan penghilangan paksa, lansir Daily Sabah (30/5).
Akses ke daerah konflik sangat dibatasi tetapi rincian kematian warga sipil telah muncul selama beberapa minggu dan bulan terakhir.
Tentara telah mengonfirmasi bahwa mereka menembak mati enam tahanan akhir bulan lalu di desa Kyauk Tan. Laporan Amnesti Internasional didasarkan pada sejumlah wawancara dengan orang-orang dari berbagai kelompok etnis, foto, video, dan citra satelit. Dokumen itu mendokumentasikan tujuh serangan tak pandang bulu yang menewaskan 14 warga sipil dan melukai puluhan lainnya, mengatakan unit-unit infanteri yang terkenal dikerahkan melawan etnis Rakhine. Beberapa Muslim Rohingya yang tetap tinggal di daerah itu juga tewas.
Pemerintah Myanmar telah lama dituduh melakukan genosida terhadap komunitas minoritas Muslim Rohingya di Negara Bagian Rakhine. Eksodus besar Rohingya dimulai pada Agustus 2017 setelah pasukan keamanan Myanmar melancarkan penumpasan brutal menyusul serangan oleh kelompok bersenjata di pos jaga.
Skala, organisasi, dan keganasan operasi tersebut menimbulkan tuduhan dari komunitas internasional, termasuk AS, tentang pembersihan etnis dan genosida. Muslim Rohingya adalah minoritas yang paling teraniaya di dunia menurut pernyataan PBB dan terus menderita penindasan di bawah pemerintah Myanmar, tentara dan ekstremis Budha.
Selama dekade terakhir, ribuan orang Rohingya telah terbunuh sejak kekerasan meletus pada 2008, menyebabkan ratusan ribu orang meninggalkan tanah air mereka ke Bangladesh, Malaysia, dan negara-negara lain di kawasan itu. Setidaknya 9.000 Rohingya terbunuh di Negara Bagian Rakhine dari 25 Agustus hingga 24 September 2017, menurut Dokter Tanpa Batas (MSF). Dalam sebuah laporan Desember lalu, kelompok kemanusiaan global mengatakan kematian 71,7%, atau 6.700 Rohingya, disebabkan oleh kekerasan. Jumlah korban tewas termasuk 730 anak-anak di bawah usia 5 tahun.
Di tengah laporan pelanggaran baru dan pembunuhan warga sipil, militer Myanmar telah menghabiskan puluhan juta dolar pada perangkat mematikan terbaru, bersandar pada sekutu sebagai bagian dari strategi untuk menjadi pasukan tempur kelas satu. Kemewahan belanja militer terjadi di tengah embargo senjata Uni Eropa dan AS yang bertahan lama dan seruan awal bulan ini dari misi pencari fakta PBB untuk masyarakat internasional untuk memutuskan hubungan keuangan dengan militer Myanmar. (haninmazaya/arrahmah.com)