JAKARTA (Arrahmah.com) – Dalam beberapa tahun terakhir, perbincangan mengenai waktu Subuh di Indonesia yang disebut-sebut terlalu cepat dari seharusnya, mulai menyeruak. Ternyata tidak hanya Subuh, waktu Isya pun mengalami keterlambatan, seperti yang diungkap oleh seorang profesor dari Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA).
Ketua Islamic Science Research Network (ISRN) Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (UHAMKA) Prof Tono Saksono mengatakan waktu shalat Isya di Indonesia mengalami keterlambatan rata-rata 18-19 menit dari yang seharusnya.
Karena itu, kata Prof Tono ISRN memberikan koreksi atas keterlambatan penetapan waktu Isya tersebut mengingat shalat Isya berhubungan dengan shalat Tarawih di bulan Ramadhan.
“Koreksi ini didasarkan atas riset saintifik ISRN yang menggunakan alat Sky Quality Meter atau SQM,” kata Prof Tono Saksono di Jakarta pada Jum’at (17/5/2019), seperti dilansir krjogja.com.
SQM adalah alat ukur kecerahan langit, keluaran hasil pengukurannya adalah satuan kecerahan langit yaitu magnitu doper satuan detik busur kuadrat (MPDB). Sebelumnya, pakar astronomi ini juga telah mengoreksi masuknya waktu Subuh di Indonesia yang selama ini terlalu cepat sepanjang rata-rata 26 menit, padahal waktu Subuh adalah waktu dimulainya berpuasa Ramadhan.
“Kami sudah punya sekitar 220 hari pengamatan untuk Subuh dan 160 hari pengamatan waktu Isya dari 20-an dan belasan lokasi pengamatan sejak 2,5 tahun lalu,” katanya.
Lokasi-lokasi tersebut tersebar yakni Medan, Sumatera Utara (2 lokasi), Padang dan Batusangkar, Sumatera Barat, Jakarta (3 lokasi), Cirebon Jawa Barat, Yogyakarta (2 lokasi), Balikpapan Kalimantan Timur, Bitung Sulawesi Utara, Labuanbajo NTT, dan Manokwari Papua Barat.
“Karena itu, kajian soal ini di Indonesia sudah kami anggap final sebab angkanya sudah stabil, baik pakai data 28 hari, 40, 70, 100, hingga 220 hari, hasilnya sudah stabil. Begitu juga waktu Isya,” kata Ketua Himpunan Ilmuwan Muhammadiyah (HIM) itu.
Hasilnya, ujar dia, memang secara meyakinkan menyimpulkan bahwa Subuh di Indonesia seharusnya terjadi saat matahari ada pada sun depression angle (dip -matahari di bawah ufuk) -13,4 derajat, sedangkan Isya seharusnya telah masuk saat matahari ada pada dip -11,5 derajat.
“Selama ini masih menggunakan pedoman besaran -20 derajat dan -18 derajat, metode yang dipakai di Mesir pada masa lalu yang dibawa ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, namun belum dikoreksi karena tidak adanya peralatan yang memadai,” katanya.
Jadwal shalat atau jadwal Imsakiyah Ramadhan 2019 yang dikeluarkan Kementerian Agama, lanjut Prof Tono, juga masih belum dikoreksi dan tetap menggunakan metode masa lalu, di mana peralatan secanggih saat ini belum tersedia dan masih mengandalkan pengamatan dengan mata telanjang.
Contoh perbedaan waktu misalnya jadwal Imsakiyah Ramadhan di Jakarta untuk Rabu (8/5/2019), Kemenag menyebut Subuh dimulai pukul 04.35 WIB dan Isya 19.00 WIB, sementara ISRN Uhamka menetapkan Subuh pada pukul 05.00.59 WIB dan Isya 18.37.19 WIB.
Namun demikian berbeda dengan waktu Subuh dan Isya yang terkait erat dengan saat-saat kritis “sun depression angle”, untuk waktu Dzuhur Ashar dan Maghrib, menurut Tono Saksono, tidak perlu dikoreksi lagi. (haninmazaya/arrahmah.com)