JAKARTA (Arrahmah.com) – Ketua Bidang Polhukam DPP PKS Almuzzammil Yusuf mengkritisi pelaksanaan Pemilu 2019. Menurutnya, Pemilu 2019 adalah pemilu 5T yaitu terlama, terumit, terduka, terceroboh, dan terbelah sepanjang sejarah pemilu di Indonesia.
Politisi PKS asal Lampung yang biasa dikenal Muzzammil ini menjelaskan, pemilu 2019 ini adalah pemilu terlama karena masa kampanye hingga 7 bulan, sehingga membutuhkan biaya besar dalam sosialisasi.
“Disebut pemilu terlama karena masa kampanye hingga 7 bulan sehingga membutuhkan biaya besar dalam sosialisasi. Selain itu waktu yang dibutuhkan pemilih dalam mencoblos paling lama serta penghitungan suara terlama di TPS hingga larut malam dan sampai pagi,“ kata politisi PKS ini di Jakarta, Ahad (28/4/2019).
Selain itu, lanjutnya, Pemilu 2019 adalah pemilu terumit karena setiap pemilih harus mencoblos lima kertas suara dengan list panjang daftar nama-nama caleg DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten, DPD RI, dan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
“Banyak pemilih yang tidak fokus dan cenderung asal-asalan memilih karena terlalu panjang list nama dalam lima kertas suara,” ujarnya.
Muzzammil juga menyebut pemilu 2019 juga pemilu terduka karena lebih dari 326 orang meninggal dunia dari pihak KPPS, saksi, dan petugas keamanan serta ribuan orang lebih jatuh sakit karena terlalu lelah dalam pelaksanaan pencoblosan dan penghitungan suara hingga larut malam dan pagi hari di TPS dan PPK.
“Ini adalah duka nasional. Kita semua berduka cita dengan wafatnya ratusan jiwa orang meninggal dan sakit karena bekerja keras mensukseskan Pemilu. Kedepan, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan Pemilu kali ini supaya hal yang sama tidak terulang,” ujarnya.
Pemilu 2019 juga, kata Muzzammil, adalah Pemilu terceroboh karena banyaknya salah input data hasil C1 oleh KPUD ke sistem penghitungan KPU yang telah merugikan salah satu calon peserta Pemilu.
“Kecerobohan ini harus diselidiki apakah disengaja atau tidak karena telah merugikan peserta pemilu dalam jumlah besar. Bagi pelakunya perlu ada sanksi tegas. Jika dibiarkan maka marwah dan kepercayaan publik terhadap KPU akan merosot,” tegasnya.
Terakhir, ujarnya, pemilu 2019 adalah pemilu yang telah melahirkan keterbelahan di tengah-tengah masyarakat yang cukup tajam sejak kampanye sampai penghitungan suara berlangsung.
“Pasca Pemilu publik terbelah. Hal ini karena adanya hitung cepat oleh lembaga survei yang dipublikasikan secara berlebihan di media massa seakan-akan Pemilu telah selesai. Padahal proses penghitungan suara masih belangsung di bawah. Kedepan perlu ada pengaturan yang ketat terkait hal ini. Supaya tidak ada demoralisasi kepada para saksi peserta pemilu dan berpotensi menimbulkan kecurangan yang massif,” ucapnya.
Ia berharap, untuk pemilu berikutnya yang lebih baik perlu ada kajian yang komprehensif dan serius supaya kesalahan yang sama tidak terulang.
“Apalagi pada tahun 2024 merujuk UU Pilkada No. 10 Tahun 2016 akan ada rencana penggabungan Pilpres, Pileg plus Pilkada yang akan dilaksanakan pada tahun yang sama. Ini butuh kajian dan simulasi yang matang,” pungkasnya.
pks.id
(ameera/arrahmah.com)