JAKARTA (Arrahmah.com) – Dr. Carl Ungerer, peneliti dari Australian Strategic Policy Institute, menyatakan bahwa sekitar 30 persen napi “teroris” tidak mempan terhadap program deradikalisasi yang dilakukan oleh pemerintah bahkan mereka masih memiliki niat untuk melakukan operasi lainnya.
Dr. Ungerer melakukan riset dengan mewawancarai 33 terpidana “teroris” di Indonesia. Ia menyatakan bahwa napi “teroris” di Indonesia terbagi menjadi dua kelompok, sebagian besar adalah alumni Afghanistan atau Ambon.
“Kelompok ini kecil kemungkinan terlibat dalam pemboman membabi-buta seperti di Bali,” kata Ungerer seperti yang dilansir detikcom.
Pemerintah menjalankan program deradikalisasi di dalam penjara dan diberikan pemahaman tentang cinta kepada negara dan masyarakat.
“Bahwa pemboman itu bukanlah jihad. Pemboman itu pembunuhan tindakan kriminal. Itu sudah kita sampaikan kok. Pokoknya dengan terus menerus dan dengan berbagai cara,” ujar Patrialis Akbar, Menkum.
Namun menurut Ungerer, dari semua napi “teroris”, ada sekitar 3 persen lebih yang tidak mempan dengan program ini. Ia disebuh Ungerer sebagai “teroris” paling berbahaya di Indonesia.
“Waktu yang mereka habiskan di penjara tidak melunturkan niat mereka untuk menjadi bagian dari kelompok ekstremis yang mempersiapkan diri untuk membunuh orang Indonesia dan orang Barat,” sambung Ungerer.
Sementara itu, Menkum Patrialis Akbar tidak mempercayai hasil riset Dr. Carl Ungerer.
“Sekarang hasil wawancara itu faktanya bagaimana. Jangan kita percaya terhadap hasil wawancara, faktanya mana! Terorisme di mana-mana muncul, tidak ada itu,” kata Patrialis di
Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Kamis (19/5/2011), lapor detikcom.
“Jangankan dari dalam, dari luar saja banyak bermunculan. jadi jangan percaya, penelitian yang bersifat provokasi. Mana buktinya apa? Ada nggak? Gitu aja, jangan kita bikin pusing,” tuturnya. (haninmazaya/arrahmah.com)