JENEWA (Arrahmah.com) – Badan pengungsi PBB pada Selasa (17/5/2011) melaporkan sejak awal konflik Libya, sebanyak 14.000 orang telah melarikan diri dari Libya dengan kapal menuju Italia dan Malta dengan kapal, dan ribuan orang lagi telah merencanakan untuk melakukan hal yang sama.
“Hingga kini sekitar 14.000 orang telah tiba dengan kapal di Italia dan Malta dari Libya. Dari jumlah itu, 1.669 orang tiba pada Jumat dan Sabtu,” kata Melissa Fleming, juru bicara Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).
“Berdasarkan pada pembicaraan dengan orang-orang yang telah tiba di Italia, kami yakin bahwa ribuan orang lagi akan berupaya untuk melakukan perjalanan ini melalui laut,” kata Fleming.
Fleming juga mengatakan, bahwa ribuan orang yang pada awalnya melarikan diri ke Tunisia atau Mesir bahkan kembali ke Libya dengan rencana untuk naik kapal tujuan Eropa. Di antara mereka adalah pengungsi, termasuk anggota masyarakat Somalia, Ethiopia dan Eritrea di kamp-kamp di Shousha dekat perbatasan Tunisia dengan Libya.
“Sekitar 1.200 orang yang diketahui telah mengupayakan penyeberangan (ke Eropa) sejak 25 Maret tak diketahui nasibnya,” kata UNHCR.
Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), para pengungsi itu telah siap untuk menantang bahaya dan kembali ke Libya dengan harapan mendapatkan perahu tujuan Eropa, sebagian karena perjanjian Tunisia-Uni Eropa belum lama ini yang mencegah mereka pergi dari pantai Tunisia.
“Satu bagian perjanjian itu mengatakan bahwa Eropa akan berinvestasi secara ekonomi dan bagian lainnya menyatakan bahwa Tunisia akan membantu menghentikan kapal berangkat,” kata Jemini Pandya, juru bicara IOM.
Dalam situs Kompas diberitakan bahwa Koordinator kemanusiaan PBB untuk Libya, Panos Moumtzis mengatakan, PBB Rabu (18/5) akan merevisi permintaan dana bantuannya untuk menutup kebutuhan negara itu dari Juni hingga Agustus. Permintaan 310 juta dolar (219 juta euro) sekarang ini menutup kebutuhan hingga akhir Mei. Para donor sejauh ini telah memberikan 46 persen dari jumlah yang diminta.
Ia juga telah minta “waktu gencatan senjata” dalam konflik Libya. Hal ini penting dilakukan untuk mengevaluasi kebutuhan bantuan bagi penduduk sipil korban konflik. (rasularasy/arrahmah.com)