WASHINGTON (Arrahmah.com) – Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, akan mengumumkan bahwa negaranya bersama dengan negara-negara Barat siap kucurkan miliaran dolar untuk mendukung proses demokratisasi di Mesir, Tunisia, dan negara-negara di Timur Tengah lainnya, Guardian melaporkan pada Kamis (19/5/2011).
Berbicara di Washington, Obama menyatakan akan berusaha untuk memposisikan AS untuk memenangkan demokrasi baru gaya Arab. Pidatonya muncul di tengah kritik bahwa AS dinilai terlalu lambat mendukung pemberontakan terhadap rezim-rezim otokratik di Timur Tengah.
Pidato ini disinyalir sebagai pidato paling penting mengenai Timur Tengah sejak pidato Obama di Kairo pada tahun 2009, ketika ia menyerukan awal yang baru (the new beginning) dalam hubungan antara AS dan dunia Muslim.
Pejabat senior pemerintahan Obama mengatakan bahwa ini merupakan kesempatan yang baik bagi AS untuk mengambil momen dalam mengembalikan pengaruhnya di Timur Tengah karena perang Irak dan kematian Syaikh Usamah bin Laden,
“Saatnya kami membalikkan halaman politik,” ungkap pejabat tersebut sambil menekankan bahwa gerakan menuju demokrasi meruapakan suatu hal yang urgen untuk Timur Tengah.
Ia melanjutkan bahwa cara terbaik untuk mendukung demokrasi adalah melalui reformasi ekonomi, dan pemberian bantuan besar pasca perang.
AS akan meringankan utang Mesir hingga $ 1 miliar dan meminjamkan jaminan sampai dengan $ 1 milyar. Bank Dunia, IMF dan lembaga multilateral lainnya akan memberikan bantuan tambahan senilai $ 2 milyar-3 milyar.
Pejabat itu menyatakan bahwa Tunisia dan Mesir akan dijadikan sebagai model demokrasi di kawasan sekitarnya.
“Ini adalah awal dari sebuah upaya jangka panjang,” kata seorang pejabat.
Pidato Obama kali ini diperkirakan akan berlangsung 45 menit.
Departemen Keuangan AS mengumumkan sanksi pertama kalinya pada Rabu (18/5) terhadap Presiden Suriah, Bashar al-Assad, atas tindakan brutal rezimnya terhadap para demonstran. Enam orang pejabat Suriah lainnya juga masuk ke dalam daftar sanksi.
“Tindakan administrasi telah diambil hari ini. Kami mengirim pesan tegas kepada Presiden Assad dan pejabat terkait lainnya dari rezim Suriah yang mereka akan bertanggung jawab atas kekerasan yang sedang berlangsung serta represi yang sedang berlangsung di Suriah,” kata David Cohen, sekretaris Depkeu AS yang khusus menangani pendanaan anti-terorisme dan intelijen.
Sanksi serupa juga dikeluarkan oleh Uni Eropa pada hari Selasa (17/5) terhadap sejumlah pejabat Suriah, tetapi tidak termasuk Assad.
Pidato Obama muncul setelah perdebatan intensif di Gedung Putih antara mereka yang berargumen bahwa Amerika harus berada di garis depan gerakan mewujudkan demokrasi, dan mereka yang menuntut AS untuk berhati-hati karena sikap AS di Timur Tengah akan mempengaruhi keamanan nasional AS serta perlindungan terhadap pasokan minyak untuk AS dari Timur Tengah.
Pada hari Selasa (17/5), dalam bingkai demokratisasi, Obama menjanjikan beberapa ratus juta dolar sebagai bantuan kepada Raja Abdullah dari Yordania.
Juru bicara Gedung Putih, Jay Carney, mengatakan bahwa presiden melihat momen bersejarah dalam sejumlah kesempatan ini.
“Dalam dekade terakhir, fokus kami di wilayah ini sebagian besar hanya Irak, yang merupakan upaya militer, serta pada perburuan Usamah bin Laden dan memerangi al-Qaeda,” kata Carney kepada wartawan.
“Usaha untuk melawan al Qaeda terus berlanjut, tetapi ada peluang di wilayah itu untuk fokus pada memajukan nilai-nilai dan meningkatkan keamanan, dan itulah yang akan diungkapkan presiden dalam pidatonya.”
Pada Rabu (18/5), Gedung Putih merilis rincian mengenai seruan John Brennan, penasihat keamanan nasional Gedung Putih, dengan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, mendesaknya untuk menandatangani kesepakatan politik yang akan memungkinkan Yaman “untuk segera melakukan transisi politik”.
Obama juga akan menyampaikan harapannya untuk sebuah kesepakatan damai antara Israel-Palestina. Dia akan membahas masalah ini dengan perdana menteri Israel, Binyamin Netanyahu, di Gedung Putih besok (20/5), dan akan menyelenggarakan konferensi organisasi lobi Israel, AIPAC, pada hari Minggu sebelum berangkat ke Irlandia dan Inggris.
Sementara itu, sebuah jajak pendapat yang diterbitkan pada hari Selasa (17/5) oleh Pew, sebuah organisasi survei yang berbasis di Washington, menemukan bahwa Presiden Obama tetap tidak populer di antara negara-negara yang disurvei di Timur Tengah dan tempat lain di dunia Muslim, kecuali Indonesia. (althaf/arrahmah.com)