JAKARTA (Arrahmah.com) – Kebijakan pemerintah yang menyamakan hoax atau kabar bohong di jaringan internet sebagai bentuk teror dinilai membahayakan.
Menurut pegiat teknologi informasi Heru Sutadi, penerapan UU Terorisme, dan bukan UU ITE, untuk menindak pembuat dan penyebar hoaks, membuat aparat penegak hukum bisa bertindak di luar batas kewajaran.
“Diterapkannya UU Terorisme itu terlalu berlebihan, dan berbahaya. Berbahayanya, kalau sekarang misalnya, orang (pembuat dan penyebar hoax) yang dianggap teroris itu kabur, lantas ditembak, itu kan berbahaya,” ujar Heru, Rabu (20/3/2019), lansir VIVA.
Dipandang dari segi hukum, ujar Heru, pemerintah sebenarnya bisa lebih memanfaatkan UU ITE untuk menindak para pelaku hoax. Pasal 27 ayat (3) UU ITE dinilai sebagai ketentuan yang paling tepat untuk menindak para pelaku hoax.
“Kalau misalnya ada seseorang yang merasa dicemarkan nama baiknya, difitnah, sebenarnya gunakan UU ITE saja, pasal 27 ayat (3). Itu bisa dipakai. Hanya harus melapor ke kepolisian saja,” jelasnya.
Meski dianggap sangat membahayakan oleh pemerintah, hoax tidak bisa disamakan sebagai aksi teror.
“Ada cara-cara yang dinilai elegan untuk menanggulanginya ketimbang cara sama yang dipakai terhadap teroris,” lanjutnya.
Menurut Heru, pembuat teror itu orang yang menghilangkan nyawa orang, jadi tidak bisa disamakan dengan hoax.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan, hoax bisa memicu kekisruhan pada Pemilu 2019.
Wiranto meminta aparat penegak hukum menindak tegas penyebar hoaks. Penyebar hoaks, ucap Wiranto, sama dengan pelaku terorisme.
“Karena menimbulkan ketakutan. Terorisme itu kan menimbulkan ketakutan di masyarakat,” ujar Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (20/3/2019).
(ameera/arrahmah.com)